BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar
belakang
Berdasarkan Undang-Undang No. 18 Tahun 2008, sampah
adalah sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/atau proses alam yang berbentuk
padat. Pengelolaan sampah dimaksudkan adalah kegiatan yang sistematis,
menyeluruh, dan berkesinambungan yang meliputi pengurangan dan penanganan
sampah. Berdasarkan sifat fisik dan kimianya sampah dapat digolongkan menjadi:
1) sampah ada yang mudah membusuk terdiri atas sampah organik seperti sisa
sayuran, sisa daging, daun dan lain-lain; 2) sampah yang tidak mudah membusuk
seperti plastik, kertas, karet, logam, sisa bahan bangunan dan lain-lain; 3)
sampah yang berupa debu/abu; dan 4) sampah yang berbahaya (B3) bagi kesehatan,
seperti sampah berasal dari industri dan rumah sakit yang mengandung zat-zat
kimia dan agen penyakit yang berbahaya.
Untuk mewujudkan kota bersih dan hijau, pemerintah
telah mencanangkan berbagai program yang pada dasarnya bertujuan untuk
mendorong dan meningkatkan kapasitas masyarakat dalam pengelolaan sampah.
Program Adipura misalnya pada tahun 2007 telah mampu mengantarkan Provinsi Bali
menjadi Provinsi Adipura karena semua kabupaten dan kota di Bali telah berhasil
mendapatkan Anugerah Adipura. Walaupun telah mendapat adipura bukan berarti
tidak terdapat permasalahan sampah, Apresiasi pemerintah dan masyarakat selalu
dituntut untuk melakukan pengelolaan sampah sehingga pada gilirannya sampah
dapat diolah secara mandiri dan menjadi sumberdaya. Mencermati penomena di atas
maka sangat diperlukan model pengelolaan sampah yang baik dan tepat dalam upaya
mewujudkan perkotaan dan perdesaan yang bersih dan hijau di Provinsi Bali.
Permasalahan
sampah di Indonesia tidak hanya berakibat buruk pada lingkungan tapi sudah merenggut
korban jiwa. Peristiwa longsornya Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Leuwigajah yang
menewaskan 143 orang pada bulan Februari 2005 terulang kembali pada bulan
September 2006 di TPA Bantargebang yang mengakibatkan tiga orang meninggal.
Fakta empirik menunjukkan, jumlah penduduk yang terus meningkat akan
meningkatkan konsumsi masyarakat dan hal ini akan mengakibatkan semakin
bertambahnya timbunan sampah. Sedangkan pengelolaan sampah yang dilakukan saat
ini, tidak lebih dari sekadar kumpul angkut buang. Artinya, sampah dari satu
tempat dikumpulkan, diangkut lalu dibuang ke tempat lain.
Produksi sampah
berhubungan linier dengan produktivitas dan aktivitas manusia. Dengan demikian,
peningkatan jumlah sampah berbanding lurus dengan jumlah penduduk dan aktivitasnya.
Penanganan yang dilakukan terhadap sampah yang ada, lazimnya adalah dengan
penumpukan, pengumpulan, dan pengangkutan ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA).
Permasalahan yang sering timbul antara lain adalah semakin terbatasnya lokasi
tempat pembuangan akhir sampah tersebut (Bahar, 1986).
Volume sampah
yang besar dan beranekaragam jenisnya jika tidak dikelola dengan baik dan benar
sangat berpotensi menimbulkan berbagai permasalahan lingkungan yang kompleks
dan serius, antara lain: 1) pencemaran air oleh “lindi” (leachate) yang keluar
dari tumpukan sampah dan mengalir menuju badan perairan ataupun meresap ke
dalam tanah; 2) pencemaran udara karena adanya gas metana (CH4), salah satu
jenis gas rumah kaca, yang keluar dari tempat penimbunan akhir sampah akibat
proses penguraian bahan organik secara anaerobik; 3) sampah merupakan habitat
bagi berkembangnya bakteri patogen tertentu seperti Salmonella typhosa,
Entamoeba coli, Escherichia coli, Vibrio cholera, Shigella dysentriae,Entamoeba
histolytica, dan lain-lain yang dapat menimbulkan penyakit pada manusia; 4)
menurunkan nilai estetika lingkungan; dan 5) mengurangi kenyamanan lingkungan.
Masalah
pelayanan sampah di perkotaan tersebut akhir-akhir ini menjadi masalah yang
cukup serius dirasakan mengingat volumenya yang kian hari kian membengkak atau
bertambah sementara kemampuan aparat pemerintah dalam melayani sangat terbatas.
Hal ini berkaitan dengan laju pertumbuhan penduduk yang terus bertambah dari
waktu ke waktu beserta aktivitasnya menyebabkan meningkatnya sampah bukan hanya
dalam jumlah sampah tetapi juga dari variasi komposisi sampah. Disamping itu,
diperkuat juga dengan kecenderungan masyarakat modern untuk menghasilkan
berbagai macam sampah khususnya perilaku hidup masyarakat kota-kota besar di
Indonesia, seperti halnya Jakarta, Medan, Bandung, Surabaya dan kota-kota
lainnya.
Program
kebersihan kota dan penanggulangan sampah pada umumnya sudah dilaksanakan oleh
hampir semua pemerintah daerah kota/kabupaten di seluruh nusantara, Fenomena
ini memberikan implikasi kepada segala bidang kehidupan perkotaan dan salah
satu diantaranya adalah implikasi terhadap peningkatan terhadap produksi
sampah.
Tingkat
kompleksitas masalah penanganan sampah ini, tidak terlepas dari implikasi
masalah-masalah sebagai berikut : (1). Pesatnya pertumbuhan kota, (2). Pesatnya
/ cepatnya pertambahan penduduk di kota, akibatnya makin banyak pula sampah
yang dihasilkan, (3). Tuntutan penyediaaan fasilitas publik perkotaan, (4).
Keterbatasan kemampuan pemerintah untuk memberikan pelayanan publik yang baik
termasuk dalam pengelolaan sampah, (5). Rendahnya kesadaran masyarakat dalam
menjaga kebersihan lingkungan, rendahnya partisipasi dalam membayar retribusi
layanan kebersihan.
Masalah sampah
di perkotaan selama ini rata-rata telah dikelola oleh Dinas Pasar, Kebersihan
dan Pertamanan yang bertanggung jawab dalam mewujudkan kebersihan kota, pasar,
jalan, dan lingkungan. Namun terdapat beberapa kendala seperti terbatasnya,
dana, SDM, serta sarana dan prasarana yang dimiliki oleh pemerintah daerah Singingi sehingga beberapa wilayah atau
kawasan kota masih tampak sampah berceceran tidak terangkut yang apabila
dibiarkan akan menimbulkan berbagai dampak negatif baik dari segi ekologi,
estetika, dan pada akhirnya berpengaruh pada kualitas lingkungan dan kesehatan
masyarakat. Dengan demikian apabila
sampah perkotaan tidak di kelola dengan baik, selain akan menimbulkan masalah
lingkungan, ekonomi, kesehatan, juga menimbulkan masalah terhadap keindahan
kota.
2. Rumusan
masalah
Berdasarkan dari latar belakang makalah ini maka
adapun rumusan masalahnya sebagai berikut:
1.
Apa
yang dimaksud dengan sampah?
2.
Bagaimana
sampah menjadi permasalahan?
3.
Apa
saja dampak yang ditimbulkan sampah?
4.
Bagaimana
pengolahan sampah?
3. Tujuan
1.
Dapat
mengetahui apa yang dimaksud dengan sampah.
2.
Dapat
mengetahui bagaimana sampah menjadi permasalahan.
3.
Dapat
memahami apa saja dampak yang ditimbulkan sampah.
4.
Dapat
mengetahui bagaimana pengolahan sampah.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Sampah adalah
semua material yang dibuang dari kegiatan rumah tangga, perdagangan, industri
dan kegiatan pertanian. Sampah yang berasal dari kegiatan rumah tangga dan
tempat perdagangan dikenal dengan limbah municipal yang tidak berbahaya (non
hazardous). Soewedo (1983) menyatakan bahwa sampah adalah bagian
dari sesuatu yang tidak dipakai, tidak disenangi atau sesuatu yang harus
dibuang, yang umumnya berasal dari kegiatan yang dilakukan manusia (termasuk
kegiatan industri), tetapi bukan yang biologis.
Berdasarkan
komposisinya, sampah dibedakan menjadi dua, yaitu:
1.
Sampah
Organik, yaitu sampah yang mudah membusuk seperti sisa makanan, sayuran,
daun-daun kering, dan sebagainya. Sampah ini dapat diolah lebih lanjut menjadi
kompos
2.
Sampah
Anorganik, yaitu sampah yang tidak mudah membusuk, seperti plastik wadah
pembungkus makanan, kertas, plastik mainan, botol dan gelas minuman, kaleng,
kayu, dan sebagainya. Sampah ini dapat dijadikan sampah komersil atau sampah
yang laku dijual untuk dijadikan produk lainnya. Beberapa sampah anorganik yang dapat dijual
adalah plastik wadah pembungkus makanan, botol dan gelas bekas minuman, kaleng,
kaca, dan kertas, baik kertas koran, HVS, maupun karton. Di negara-negara
berkembang komposisi sampah terbanyak adalah sampah organik, sebesar 60 – 70%,
dan sampah anorganik sebesar ± 30%.
B. Permasalahan
sampah
Kehidupan
manusia tidak lepas dengan sampah. Setiap orang, pasti menghasilkan sampah.
Menurunnya kualitas lingkungan yang disebabkan oleh sampah terkait dengan
adanya hubungan yang erat dan timbal balik antara jumlah penduduk, nilai dan
perilaku masyarakat terhadap perwujudan sampah, organisasi pengelola sampah,
serta sistem pengelolaan yang dilakukan. Di negara-negara berkembang termasuk
Indonesia persoalan sampah lebih banyak disebabkan masalah sosialnya, dibandingkan
dengan masalah teknologinya. Hal ini disebabkan karena persoalan teknologi
pengolahan sampah sebenarnya sudah ada. Hanya penerapannya saja yang memerlukan
penyesuaian-penyesuaian dengan kondisi setempat. Sedangkan persoalan sosial
atau masyarakat memerlukan pendalaman khusus karena terkait dengan nilai dan
norma masyarakat.
Masalah sampah
perkotaan merupakan masalah yang selalu hangat dibicarakan baik di Indonesia
maupun kota kota di dunia karena hampir semua kota menghadapi masalah
persampahan. Meningkatnya pembangunan kota, pertambahan penduduk, tingkat
aktivitas dan tingkat sosial ekonomi masyarakat, diiringi dengan meningkatnya
jumlah timbulan sampah dari hari ke hari serta sarana dan prasarana pemerintah
yang terbatas akan menambah permasalahan sampah yang semakin kompleks.
Permasalahan
sampah di Indonesia tidak hanya berakibat buruk pada lingkungan tapi sudah
merenggut korban jiwa. Peristiwa longsornya Tempat Pembuangan Akhir (TPA)
Leuwigajah yang menewaskan 143 orang pada bulan Februari 2005 terulang kembali
pada bulan September 2006 di TPA Bantargebang yang mengakibatkan tiga orang
meninggal. Fakta empirik menunjukkan, jumlah penduduk yang terus meningkat akan
meningkatkan konsumsi masyarakat dan hal ini akan mengakibatkan semakin
bertambahnya timbulan sampah. Sedangkan pengelolaan sampah yang dilakukan saat
ini, tidak lebih dari sekadar kumpul angkut buang. Artinya, sampah dari satu
tempat dikumpulkan, diangkut lalu dibuang ke tempat lain.
Produksi sampah
berhubungan linier dengan produktivitas dan aktivitas manusia. Dengan demikian,
peningkatan jumlah sampah berbanding lurus dengan jumlah penduduk dan
aktivitasnya. Penanganan yang dilakukan terhadap sampah yang ada, lazimnya
adalah dengan penumpukan, pengumpulan, dan pengangkutan ke Tempat Pembuangan
Akhir (TPA). Permasalahan yang sering timbul antara lain adalah semakin
terbatasnya lokasi tempat pembuangan akhir sampah tersebut (Bahar, 1986).
Masalah
pelayanan sampah di perkotaan tersebut akhir-akhir ini menjadi masalah yang
cukup serius dirasakan mengingat volumenya yang kian hari kian membengkak atau
bertambah sementara kemampuan aparat pemerintah dalam melayani sangat terbatas.
Hal ini berkaitan dengan laju pertumbuhan penduduk yang terus bertambah dari
waktu ke waktu beserta aktivitasnya menyebabkan meningkatnya sampah bukan hanya
dalam jumlah sampah tetapi juga dari variasi komposisi sampah. Disamping itu,
diperkuat juga dengan kecenderungan masyarakat modern untuk menghasilkan
berbagai macam sampah khususnya perilaku hidup masyarakat kota-kota besar di
Indonesia, seperti halnya Jakarta, Medan, Bandung, Surabaya dan kota-kota
lainnya.
Tingkat
kompleksitas masalah penanganan sampah ini, tidak terlepas dari implikasi
masalah-masalah sebagai berikut :
1.
Pesatnya
pertumbuhan kota
2.
Pesatnya
/ cepatnya pertambahan penduduk di kota, akibatnya makin banyak pula sampah
yang dihasilkan
3.
Tuntutan
penyediaaan fasilitas publik perkotaan,
4.
Keterbatasan
kemampuan pemerintah untuk memberikan pelayanan publik yang baik termasuk dalam
pengelolaan sampah,
5.
Rendahnya
kesadaran masyarakat dalam menjaga kebersihan lingkungan, rendahnya partisipasi
dalam membayar retribusi layanan kebersihan.
Paradigma baru
dalam suatu pembangunan adalah lebih mengutamakan perencanaan dari bawah
(bottom-up) untuk menghasilkan partisipasi maksimal dari masyarakat yang
terlibat dalam proses pembangunan. Proses pembangunan yang sebenarnya, haruslah
merupakan perubahan sosial budaya. Agar pembangunan menjadi proses yang dapat
bergerak maju sendiri (self sustaining process) tergantung pada manusia dan
struktur sosialnya. Demikian juga masalah pengelolaan sampah di perkotaan,
apabila menginginkan dapat terselesaikan secara mendasar, maka masyarakat harus
diberdayakan secara optimal. Dalam penanganan persampahan hendaknya pihak PEMDA
melibatkan masyarakat khususnya dari segi teknis pengumpulan dan pengelolaan
setempat. Masalah utama dibidang persampahan yang dewasa ini umum dihadapi
diberbagai kota di Indonesia adalah :
1.
Aspek
teknis/fisik
Keterbatasan
kemampuan PEMDA dalam menyediakan sarana fisik untuk memenuhi tingkat pelayanan
sesuai peningkatan jumlah sampah yang dihasilkan penduduk dari waktu ke waktu
berkaitan dengan tata ruang kota dan memberikan dampak pada lingkungan seperti
gangguan adanya lalat dan estetika sehingga banyaknya TPA dan pengelola yang
didemo bahkan sampai berakibat anarkhi oleh masyarakat.
2.
Aspek
Pengelolaan
Menyangkut
keterbatasan PEMDA dalam melaksanakan pengelolaan seperti masalah organisasi
tenaga kerja dan pendanaan. Kasus-kasus yang dijumpai pada penanganan sampah
yang berhubungan dengan pengelolaan adalah :
a. Belum baiknya planning dan programming jangka pendek
maupun jangka panjang.
b. Retribusi yang terkumpul pada umumnya sangat terbatas
tidak sebanding dengan biaya operasional dan pemeliharaan.
3.
Aspek
Sosial
Menyangkut keterbatasan
pengetahuan dan kesadaran masyarakat dalam berperan serta selaku warga kota dan
sekaligus penghasil sampah, yang memiliki hak dan kewajiban dalam menikmati
serta mendukung pelayanan kota hal ini dengan sendirinya mengakibatkan
rendahnya tingkat pelayanan perkotaan, sehingga sampah menumpuk akibat tidak
terangkut.
4.
Aspek
Pengaturan Hukum
Menyangkut
kurang lengkapnya peraturan yang ada atau telah kedaluwarsa dan tidak tegasnya
sanksi sehingga peraturan tersebut menjadi mandul.
5.
Aspek
Lingkungan
Menyangkut
dampak negatifnya dari masalah sampah terhadap lingkungan perkotaan, seperti
adanya banjir dan bau.
C.
Dampak lingkungan yang ditimbulkan akibat sampah
Sampah merupakan hasil sampingan dari kegiatan manusia
sehari-hari. Jumlah sampah yang semakin besar memerlukan pengelolaan yang harus
dilakukan secara bertanggung
jawab.Selama tahapan penanganan sampah banyak kegiatan dan fasilitas yang bila
tidak dilakukan / disediakan dengan benar akan menimbulkan dampak yang berpotensi
mengganggu lingkungan.
1.
Perkembangan
Vektor Penyakit
Wadah sampah
merupakan tempat yang sangat ideal bagi pertumbuhan vektor penyakit terutama
lalat dan tikus. Hal ini disebabkan dalam wadah sampah tersedia sisa makanan
dalam jumlah yang besar. Tempat Penampungan Sementara / Container juga
merupakan tempat berkembangnya vektor tersebut karena alasan yang sama. Sudah
barang tentu akan menurunkan kualitas kesehatan lingkungan sekitarnya.
Vektor penyakit
terutama lalat sangat potensial berkembangbiak di lokasi TPA. Hal ini terutama disebabkan
oleh frekwensi penutupan sampah yang tidak dilakukan sesuai ketentuan sehingga
siklus hidup lalat dari telur menjadi larva telah berlangsung sebelum penutupan
dilaksanakan. Gangguan akibat lalat umumnya dapat ditemui sampai radius 1-2 km
dari lokasi TPA
2.
Pencemaran
Udara
Sampah yang
menumpuk dan tidak segera terangkut
merupakan sumber bau tidak sedap yang memberikan efek buruk bagi daerah
sensitif sekitarnya seperti permukiman, perbelanjaan, rekreasi, dan lain-lain.
Pembakaran sampah seringkali terjadi pada sumber dan lokasi pengumpulan
terutama bila terjadi penundaan proses pengangkutan sehingga menyebabkan
kapasitas tempat terlampaui. Asap yang timbul sangat potensial menimbulkan
gangguan bagi lingkungan sekitarnya.
Sarana
pengangkutan yang tidak tertutup dengan baik juga sangat berpotensi menimbulkan
masalah bau di sepanjang jalur yang dilalui, terutama akibat bercecerannya air
lindi dari bak kendaraan.Pada instalasi pengolahan terjadi berupa pelepasan zat
pencemar ke udara dari hasil pembuangan sampah yang tidak sempurna; diantaranya
berupa : partikulat, SO x, NO x, hidrokarbon, HCl, dioksin, dan lain-lain.
Proses dekomposisi sampah di TPA secara kontinu akan berlangsung dan dalam hal
ini akan dihasilkan berbagai gas seperti CO, CO2, CH4, H2S, dan lain-lain yang
secara langsung akan mengganggu komposisi gas alamiah di udara, mendorong
terjadinya pemanasan global, disamping efek yang merugikan terhadap kesehatan
manusia di sekitarnya.
Pembongkaran
sampah dengan volume yang besar dalam lokasi pengolahan berpotensi menimbulkan
gangguan bau. Disamping itu juga sangat
mungkin terjadi pencemaran berupa asap bila sampah dibakar pada instalasi yang
tidak memenuhi syarat teknis.
Seperti halnya
perkembangan populasi lalat, bau tak sedap di TPA juga timbul akibat penutupan
sampah yang tidak dilaksanakan dengan baik. Asap juga seringkali timbul di TPA
akibat terbakarnya tumpukan sampah baik secara sengaja maupun tidak. Produksi
gas metan yang cukup besar dalam tumpukan sampah menyebabkan api sulit
dipadamkan sehingga asap yang dihasilkan akan sangat mengganggu daerah
sekitarnya.
3.
Pencemaran
Air
Prasarana dan
sarana pengumpulan yang terbuka sangat potensial menghasilkan lindi terutama
pada saat turun hujan. Aliran lindi ke saluran atau tanah sekitarnya akan menyebabkan
terjadinya pencemaran.Instalasi pengolahan berskala besar menampung sampah
dalam jumlah yang cukup besar pula sehingga potensi lindi yang dihasilkan di
instalasi juga cukup potensial untuk menimbulkan pencemaran air dan tanah di
sekitarnya.Lindi yang timbul di TPA sangat mungkin mencemari lingkungan
sekitarnya baik berupa rembesan dari dasar TPA yang mencemari air tanah di
bawahnya. Pada lahan yang terletak di kemiringan, kecepatan aliran air tanah
akan cukup tinggi sehingga dimungkinkan terjadi cemaran terhadap sumur penduduk
yang trerletak pada elevasi yang lebih rendah.
Pencemaran lindi
juga dapat terjadi akibat efluen pengolahan yang belum memenuhi syarat untuk
dibuang ke badan air penerima. Karakteristik pencemar lindi yang sangat besar
akan sangat mempengaruhi kondisi badan air penerima terutama air permukaan yang
dengan mudah mengalami kekurangan oksigen terlarut sehingga mematikan biota
yang ada.
4.
Pencemaran
Tanah
Pembuangan
sampah yang tidak dilakukan dengan baik misalnya di lahan kosong atau TPA yang
dioperasikan secara sembarangan akan menyebabkan lahan setempat mengalami
pencemaran akibat tertumpuknya sampah organik dan mungkin juga mengandung Bahan
Buangan Berbahaya (B3). Bila hal ini terjadi maka akan diperlukan waktu yang
sangat lama sampai sampah terdegradasi atau larut dari lokasi tersebut. Selama
waktu itu lahan setempat berpotensi menimbulkan pengaruh buruk terhadap manusia
dan lingkungan sekitarnya.
5.
Gangguan
Estetika
Lahan yang
terisi sampah secara terbuka akan menimbulkan kesan pandangan yang sangat buruk
sehingga mempengaruhi estetika lingkungan sekitarnya. Hal ini dapat terjadi baik di lingkungan
permukiman atau juga lahan pembuangan sampah lainnya. Proses pembongkaran dan
pemuatan sampah di sekitar lokasi pengumpulan sangat mungkin menimbulkan
tumpahan sampah yang bila tidak segera diatasi akan menyebabkan gangguan
lingkungan. Demikian pula dengan ceceran sampah dari kendaraan pengangkut
sering terjadi bila kendaraan tidak dilengkapi dengan penutup yang memadai.
Di TPA ceceran
sampah terutama berasal dari kegiatan pembongkaran yang tertiup angin atau
ceceran dari kendaraan pengangkut. Pembongkaran sampah di dalam area pengolahan
maupun ceceran sampah dari truk pengangkut akan mengurangi estetika lingkungan
sekitarnya. Sarana pengumpulan dan pengangkutan yang tidak terawat dengan baik
merupakan sumber pandangan yang tidak baik bagi daerah yang dilalui.
Lokasi TPA
umumnya didominasi oleh ceceran sampah baik akibat pengangkutan yang kurang
baik, aktivitas pemulung maupun tiupan angin pada lokasi yang sedang
dioperasikan. Hal ini menimbulkan pandangan yang tidak menyenangkan bagi
masyarakat yang melintasi / tinggal berdekatan dengan lokasi tersebut.
6.
Kemacetan
Lalu lintas
Lokasi
penempatan sarana / prasarana pengumpulan sampah yang biasanya berdekatan
dengan sumber potensial seperti pasar, pertokoan, dan lain-lain serta kegiatan
bongkar muat sampah berpotensi menimbulkan gangguan terhadap arus lalu lintas. Arus
lalu lintas angkutan sampah terutama pada lokasi tertentu seperti transfer
station atau TPA berpotensi menjadi gerakan kendaraan berat yang dapat
mengganggu lalu lintas lain; terutama bila tidak dilakukan upaya-upaya khusus
untuk mengantisipasinya.
Arus kendaraan
pengangkut sampah masuk dan keluar dari lokasi pengolahan akan berpotensi
menimbulkan gangguan terhadap lalu lintas di sekitarnya terutama berupa
kemacetan pada jam-jam kedatangan. Pada TPA besar dengan frekwensi kedatangan
truck yang tinggi sering menimbulkan kemacetan pada jam puncak terutama bila
TPA terletak berdekatan dengan jalan umum.
7.
Gangguan
Kebisingan
Kebisingan
akibat lalu lintas kendaraan berat / truck timbul dari mesin-mesin, bunyi rem,
gerakan bongkar muat hidrolik, dan lain-lain yang dapat mengganggu
daerah-daerah sensitif di sekitarnya. Di instalasi pengolahan kebisingan timbul
akibat lalu lintas kendaraan truk sampah disamping akibat bunyi mesin
pengolahan (tertutama bila digunakan mesin pencacah sampah atau shredder).
Kebisingan di sekitar lokasi TPA timbul akibat lalu lintas kendaraan pengangkut
sampah menuju dan meninggalkan TPA; disamping operasi alat berat yang ada.
8.
Dampak
Sosial
Hampir tidak ada
orang yang akan merasa senang dengan adanya pembangunan tempat pembuangan
sampah di dekat permukimannya. Karenanya tidak jarang menimbulkan sikap
menentang / oposisi dari masyarakat dan munculnya keresahan. Sikap oposisi ini
secara rasional akan terus meningkat seiring dengan peningkatan pendidikan dan
taraf hidup mereka, sehingga sangat penting untuk mempertimbangkan dampak ini
dan mengambil langkah-langkah aktif untuk menghindarinya.
a. Dampak Sosial Terhadap masyarakat
1)
Kerukunan
Permasalahan
sampah dapat berkaitan dengan nilai kerukunan, atau sebaliknya justru dapat
menambah kerukunan. Orang yang sering membuang sampah di sekitar tempat
tinggalnya dan mencemari ligkungan dapat menimbulkan ketidaksenangan
tetangganya. Hal yang demikian ini dapat menimbulkan keretakan hubungan antara
tetangga. Kondisi yang demikian perlu di ubah agar terjadi hal yang sebaliknya,
yakni dapat semakin meningkatkan kerukunan.
Misalnya pada
awalnya tetangga yang merasa dirugikan melaporkan kepada RT atau yang
berwenang. Selanjutnya ketua RT pejabat memanggil warganya untuk bermusyawarah
dan mengadakan penyuluhan kebersihan. Akhirnya perlu diadakan gotong royong
melakukan pembersihan lingkungan agar setia warga merasa bertanggung jawab
terhadap kebersihan lingkungannya.
2)
Kesanggupan
Setiap warga
hendaknya memiliki kesanggupan untuk menempatkan sampah pada tempatnya,
memisahkan sampah yang terurai dan yang tidak teruai, menjaga kebersihan
lingkungannya, dan tidak membuang sampah yang tergolong bahan beracun dan
berbahaya (B3) ke sembaranga tempat. Pekerjaan tersebut bukanlah pekerjaan yang
sulit dilakukan, juga bukan merupakan pekerjaan yang mustahil untuk dilakukan.
Maka yang dipentingkan adalah kesadaran dan kesanggupan.
b. Dampak Sampah Terhadap Keadaan Sosial dan Ekonomi
1)
Pengelolaan
sampah yang kurang baik akan membentuk lingkungan yang kurang menyenangkan bagi
masyarakat ; bau yang tidak sedap dan pemandangan yang buuk karena sampah bertebaran
dimana-mana.
2)
Memberikan
dampak negative terhadap kepariwisataan.
3)
Pengelolaan
sampah tidak memadai menyebabkan rendahnya tingkat kesehatan masyarakat. Hal
penting disini adalah meningkatnya pembiayaan-pembiayaan secara langsung (untuk
mengobati orang sakit) dan pembiayaan secara tidak langsung (tidak mau kerja,
rendahnya produktivitas) Berdasarkan pola penanganan sampah yang dilakukan pada
daerah perkotaan bahwa tanggung jawab pengelolaan sampah adalah menjagi
tanggung jawab pemerintah daerah (PEMDA), untuk itu PEMDA berkewajiban untuk
melaksanakan :
I. Perbaikan manajemen serta peraturan daerah.
II. Promosi dan meningkatkan peran serta masyarakat
III. Mengembangkan program persampahan sesuai dengan
kondisi daerah masing-masing demi terciptanya lingkungan bersih dan sehat.
IV. Exploitasi dan pemeliharaan peralatan persampahan
secara terus menerus dengan penuh tanggung jawab, antara lain berkaitan dengan
besarnya investasi yang tertanam dalam sarana persampahan.
D. Pengolahan
sampah
1. Faktor
yang berpengaruh dalam pengolahan sampah
Pengelolaan sampah bertujuan untuk meningkatkan
kesehatan masyarakat dan kualitas lingkungan serta menjadikan sampah sebagai
sumberdaya. Dari sudut pandang kesehatan lingkungan, pengelolaan sampah
dipandang baik jika sampah tersebut tidak menjadi media berkembang biaknya
bibit penyakit serta sampah tersebut tidak menjadi medium perantara
menyebarluasnya suatu penyakit. Syarat lainnya yang harus dipenuhi, yaitu tidak
mencemari udara, air dan tanah, tidak menimbulkan bau (tidak mengganggu nilai estetis),
tidak menimbulkan kebakaran dan yang lainnya ( Aswar, 1986).
Meningkatnya volume sampah yang dihasilkan oleh
masyarakat urban dapat disaksikan dari Kota Denpasar, yaitu pada tahun 2002
rata-rata produksi sampah sekitar 2.114 m3/hari yang bersumber dari sampah
rumah tangga, sampah sejenis sampah rumah tangga, dan sampah spesifik. Dalam
jangka waktu 4 tahun, yaitu tahun 2006, jumlah produksi sampah telah meningkat
menjadi 2.200 m3/hari (Tim Kota Sanitasi Kota Denpasar, 2007). Sementara itu,
rendahnya pengetahuan, kesadaran, dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah
menjadi suatu permasalahan yang perlu mendapat perhatian dalam pengelolaan
lingkungan bersih dan sehat. Faktor-faktor yang
mempengaruhi pengelolaan sampah di antaranya:
a.
sosial politik, yang menyangkut
kepedulian dan komitment pemerintah dalam menentukan anggaran APBD untuk
pengelolaan lingkungan (sampah), membuat keputusan publik dalam pengelolaan
sampah serta upaya pendidikan, penyuluhan dan latihan keterampilan untuk
meningkatkan kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah.
b.
Aspek Sosial Demografi yang meliputi
sosial ekonomi (kegiatan pariwisata, pasar dan pertokoan, dan kegiatan rumah
tangga.
c.
Sosial Budaya yang menyangkut keberadaan
dan interaksi antarlembaga desa/adat, aturan adat (awig-awig), kegiatan ritual
(upacara adat/keagamaan), nilai struktur ruang Tri Mandala, jiwa pengabdian
sosial yang tulus, sikap mental dan perilaku warga yang apatis.
d.
keberadan lahan untuk tempat penampungan
sampah.
e.
finansial (keuangan).
f.
keberadaan Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM).
g.
kordinasi antarlembaga yang terkait
dalam penanggulangan masalah lingkungan (sampah).
Pengelolaan sampah perkotaan juga
memiliki faktor-faktor pendorong dan penghambat dalam upaya peningkatan
partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah. Menurut hasil penelitian
Nitikesari (2005) faktor-faktor tersebut di antaranya adalah tingkat
pendidikan, penempatan tempat sampah di dalam rumah, keberadaan pemulung,
adanya aksi kebersihan, adanya peraturan tentang persampahan dan penegakan
hukumnya. Tingkat partisipasi masyarakat perkotaan (Kota Denpasar) dalam
menangani sampah secara mandiri masih dalam katagori sedang sampai rendah,
masyarakat masih enggan melakukan pemilahan sampah. Sampah semakin hari semakin sulit dikelola, sehingga disamping
kesadaran dan partisipasi masyarakat, pengembangan teknologi dan model
pengelolaan sampah merupakan usaha alternatif untuk memelihara lingkungan yang
sehat dan bersih serta dapat memberikan manfaat lain.
2.
Kondisi pengolahan sampah saat ini
Berdasarkan
data SLHD Bali (2005) tampak bahwa pada saat ini sampah sulit dikelola karena
berbagai hal, antara lain:
a. Cepatnya
perkembangan teknologi, lebih cepat daripada kemampuan masyarakat untuk
mengelola dan memahami porsoalan sampah
b. Menigkatnya
tingkat hidup masyarakat, yang tidak disertai dengan keselarasan pengetahuan
tentang sampah
c. Meningkatnya
biaya operasional pengelolaan sampah
d. Pengelolaan
sampah yang tidak efisien dan tidak benar menimbulkan permasalahan pencemaran
udara, tanah, dan air serta menurunnya estetika.
e. Ketidakmampuan
memelihara barang, mutu produk teknologi yang rendah akan mempercepat menjadi
sampah.
f. Semakin
sulitnya mendapat lahan sebagai tempat pembuangan ahir sampah.
g. Semakin
banyaknya masyarakat yang keberatan bahwa daerahnya dipakai tempat pembuangan
sampah.
h. Sulitnya
menyimpan sampah yang cepat busuk, karena cuaca yang panas.
i.
Sulitnya
mencari partisipasi masyarakat untuk membuang sampah pada tempatnya dan
memelihara kebersihan.
j.
Pembiayaan yang tidak memadai, mengingat
bahwa sampai saat ini kebanyakan sampah dikelola oleh pemerintah.
Penanganan sampah yang telah
dilakukan adalah pengumpulan sampah dari sumber-sumbernya, seperti dari
masyarakat (rumah tangga) dan tempat-tempat umum yang dikumpulkan di TPS yang
telah disediakan. Selanjutnya diangkut dengan truk yang telah dilengkapi
jarring ke TPA. Bagi daerah-daerah yang belum mendapat pelayanan pengangkutan
mengingat sarana dan prasara yang terbatas telah dilakukan pengelolaan sampah
secara swakelola dengan beberapa jenis bantuan fasilitas pengangkutan. Bagi
Usaha atau kegiatan yang menghasilkan sampah lebih dari 1 m3/hari diangkut
sendiri oleh pengusaha atau bekerjasama dengan pihak lainnya seperti
desa/kelurahan atau pihak swasta. Penanganan sampah dari sumber-sumber sampah
dengan cara tersebut cukup efektif.
Beberapa usaha
yang telah berlangsung di TPA untuk mengurangi volume sampah, seperti telah
dilakukan pemilahan oleh pemulung untuk sampah yang dapat didaur ulang. Ini
ternyata sebagai matapencaharian untuk mendapatkan penghasilan. Terhadap sampah
yang mudah busuk telah dilakukan usaha pengomposan. Namun usaha tersebut masih
menyisakan sampah yang harus dikelola yang memerlukan biaya yang tinggi dan
lahan luas. Penanganan sisa sampah di TPA sampai saat ini masih dengan cara
pembakaran baik dengan insenerator atau pembakaran di tempat terbuka dan open
dumping dengan pembusukan secara alami. Hal ini menimbulkan permasalahan baru
bagi lingkungan, yaitu pencemaran tanah, air, dan udara.
Pengelolaan
sampah dimasa yang akan datang perlu memperhatikan berbagai hal seperti:
1)
Penyusunan Peraturan daerah (Perda)
tentang pemilahan sampah
2)
Sosialisasi pembentukan kawasan bebas
sampah, seperti misalnya tempat-tempat wisata, pasar, terminal, jalan-jalan
protokol, kelurahan, dan lain sebagainya
3)
Penetapan peringkat kebersihan bagi
kawasan-kawasan umum
4)
Memberikan tekanan kepada para produsen
barang-barang dan konsumen untuk berpola produksi dan konsumsi yang lebih ramah
lingkungan
5)
Memberikan tekanan kepada produsen untuk
bersedia menarik (membeli) kembali dari masyarakat atas kemasan produk yang
dijualnya, seperti bungkusan plastik, botol, alluminium foil, dan lain lain.
6)
Peningkatan peran masyarakat melalui
pengelolaan sampah sekala kecil, bisa dimulai dari tingkat desa/kelurahan
ataupun kecamatan, termasuk dalam hal penggunaan teknologi daur ulang,
komposting, dan penggunaan incenerator.
7)
Peningkatan efektivitas fungsi dari TPA
8)
Mendorong transformasi (pergeseran) pola
konsumsi masyarakat untuk lebih menyukai produk-produk yang berasal dari daur
ulang.
9)
Pengelolaan sampah dan limbah secara
terpadu
10)
Melakukan koordinasi dengan instansi
terkait baik di pusat maupun daerah, LSM, Perguruan Tinggi untuk peningkatan
kapasitas pengelolan limbah perkotaan
11)
Melakukan evaluasi dan monitoring
permasalahan persampahan dan pengelolaannya, kondisi TPA dari aspek lingkungan,
pengembangan penerapan teknologi yang ramah lingkungan
12)
Optimalisasi pendanaan dalam pengelolaan
sampah perkotaan, pengembangan sistem pendanaan pengelolaan sampah
13)
Konsistensi pelaksanaan peraturan
perundangan tentang persampahan dan lingkungan hidup.
14)
Meningkatkan usaha swakelola penanganan
sampah terutama sampah yang mudah terurai ditingkat desa/kelurahan
15)
Memberikan fasilitasi, dorongan,
pendampingan/advokasi kepada masyarakat dalam upaya meningkatkan pengelolaan
sampah.
3.
Metode pengolahan masalah sampah perkotaan dan
pedesaan
Sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan pada Pasal 5
UU Pengelolan Lingkungan Hidup No.23 Th.1997, bahwa masyarakat berhak atas Lingkungan
hidup yang baik dan sehat. Untuk mendapatkan hak tersebut, pada Pasal 6
dinyatakan bahwa masyarakat dan pengusaha berkewajiban untuk berpartisipasi
dalam memelihara kelestarian fungsi lingkungan, mencegah dan menaggulangi
pencemaran dan kerusakan lingkungan. Terkait dengan ketentuan tersebut, dalam
UU NO. 18 Tahun 2008 secara eksplisit juga dinyatakan, bahwa setiap orang
mempunyai hak dan kewajiban dalam pengelolaan sampah. Dalam hal pengelolaan
sampah pasal 12 dinyatakan, setiap orang wajib mengurangi dan menangani sampah
dengan cara berwawasan lingkungan. Masyarakat juga dinyatakan berhak
berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan, pengelolaan dan pengawasan
di bidang pengelolaan sampah.
Tata cara partisipasi masyarakat dalam pengelolaan
sampah dapat dilakukan dengan memperhatikan karakteristik dan tatanan sosial
budaya daerah masing-masing. Berangkat dari ketentuan tersebut, tentu menjadi
kewajiban dan hak setiap orang baik secara individu maupun secara kolektif,
demikian pula kelompok masyarakat pengusaha dan komponen masyarakat lain untuk
berpartisipasi dalam pengelolaan sampah dalam upaya untuk menciptakan
lingkungan perkotaan dan perdesaan yang baik, bersih, dan sehat.
Beberapa
pendekatan dan teknologi pengelolaan dan pengolahan sampah yang telah
dilaksanakan antara lain adalah:
a. Teknologi
Komposting
Pengomposan
adalah salah satu cara pengolahan sampah, merupakan proses dekomposisi dan
stabilisasi bahan secara biologis dengan produk akhir yang cukup stabil untuk
digunakan di lahan pertanian tanpa pengaruh yang merugikan (Haug, 1980).
Penelitian yang dilakukan oleh Wahyu (2008) menemukan bahwa pengomposan dengan
menggunakan metode yang lebih modern (aerasi) mampu menghasilkan kompos yang
memiliki butiran lebih halus, kandungan C, N, P, K lebih tinggi dan pH, C/N
rasio, dan kandungan Colform yang lebih rendah dibandingkan dengan pengomposan
secara konvensional.
b. Teknologi
Pembuatan Pupuk Kascing
c. Pengolahan
sampah menjadi listrik.
Kota Denpasar, Kabupaten Badung, Gianyar dan Tabanan
telah melakukan kerjasama dalam usaha pengelolaan sampah secara terpadu yang
berorientasi pada teknologi dalam suatu Badan Bersama yaitu SARBAGITA. Teknologi yang direncanakan yaitu teknologi GALFAD (gasifikasi landfill
dan anaerobic digestion). Pengelolaan sampah dengan pendekatan teknologi
diharapkan penanganan sampah lebih cepat, efektif dan efisien serta dapat
memberikan manfaat lain. Kota Bandung, sebuah kota besar di Indonesa yang
beberapa waktu yang lalu pernah heboh karena keberadaan sampah yang merayap
bahkan hingga badan jalan-jalan utamanya. Jangankan jalan utama, saat Anda
memasuki Bandung menuju flyover Pasupati, Anda pasti akan disambut dengan
segunduk besar sampah yang hampir menutupi setengah badan jalan. Itu dulu.
Sekarang, Kota Bandung sudah kembali menjadi sedia kala dan solusi PLTSa-lah
yang sedang diperdebatkan.
Tujuan akhir
dari sebuah PLTSa ialah untuk mengkonversi sampah menjadi energi. Pada dasarnya
ada dua alternatif proses pengolahan sampah menjadi energi, yaitu proses
biologis yang menghasilkan gas-bio dan proses thermal yang menghasilkan panas.
PLTSa yang sedang diperdebatkan untuk dibangun di Bandung menggunakan proses
thermal sebagai proses konversinya. Pada kedua proses tersebut, hasil proses
dapat langsung dimanfaatkan untuk menggerakkan generator listrik. Perbedaan
mendasar di antara keduanya ialah proses biologis menghasilkan gas-bio yang
kemudian dibarak untuk menghasilkan tenaga yang akan menggerakkan motor yang
dihubungkan dengan generator listrik sedangkan proses thermal menghasilkan
panas yang dapat digunakan untuk membangkitkan steam yang kemudian digunakan
untuk menggerakkan turbin uap yang dihubungkan dengan generator listrik.
d. Pengelolaan
sampah mandiri
Pengolahan sampah mandiri adalah pengolahan sampah
yang dilakukan oleh masyarakat di lokasi sumber sampah seperti di rumah-rumah
tangga. Masyarakat perdesaan yang umumnya memiliki ruang pekarangan lebih luas
memiliki peluang yang cukup besar untuk melakukan pengolahan sampah secara
mandiri. Model pengelolaan sampah mandiri akan memberikan manfaat lebih baik
terhadap lingkungan serta dapat mengurangi beban TPA. Pemilahan sampah secara
mandiri oleh masyarakat di Kota Denpasar masih tergolong rendah yakni baru
mencapai 20% (Nitikesari, 2005).
e. Pengelolaan
sampah berbasis masyarakat
1) Berbagai
masalah yang dihadapi masyarakat dalam pengelolaan sampah pemukiman kota yang
ada di Desa Seminyak, Sanur Kauh dan Sanur Kaja, dan Desa Temesi Gianyar,
yaitu: masalah pengadaan lahan untuk lokasi devo, terbatasnya peralatan
teknologi dan perawatannnya, terbatasnya dana untuk perekrutan tenaga kerja
baru yang memadai, produksi kompos yang masih rendah, sulit dan terbatasnya
pemasaran kompos sehingga secara ekonomi pengelola cendrung mengalami defisit.
2) Model
pengelolaan sampah pemukiman kota yang berbasis sosial kemasyarakatan dapat
dilakukan secara adaptif dengan memperhatikan aspek karakteristik sosial dan
budaya masyarakat, aspek ruang (lingkungan), volume, dan jenis sampah yang
dihasilkan.
3) Pola
pengelolaan sampah berbasis masyarakat sebaiknya dilakukan secara sinergis
(terpadu) dari berbagai elemen (Desa, pemerintah, LSM, pengusaha/swasta,
sekolah, dan komponen lain yang terkait) dengan menjadikan komunitas lokal
sebagai objek dan subjek pembangunan, khususnya dalam pengelolaan sampah untuk
menciptakan lingkungan bersih, aman, sehat, asri, dan lestari Undang-Undang tentang pengelolaan
sampah telah menegaskan berbagai larangan seperti membuang sampah tidak pada
tempat yang ditentukan dan disediakan, membakar sampah yang tidak sesaui dengan
persyaratan teknis, serta melakukan penanganan sampah dengan pembuangan terbuka
di TPA. Penutupan TPA dengan pembuangan terbuka harus dihentikan dalam waktu 5
tahun setelah berlakunya UU No. 18 Tahun 2008. Dalam upaya pengembangan model
pengelolaan sampah perkotaan harus dapat melibatkan berbagai komponen pemangku
kepentingan seperti pemerintah daerah, pengusaha, LSM, dan masyarakat. Komponen
masyarakat perkotaan lebih banyak berasal dari pemukiman (Desa Pakraman dan
Dinas), sedangkan di perdesaan umumnya masih sangat erat kaitannya dengan
keberadaan kawasan persawahan dengan kelembagaan subak yang mesti dilibatkan.
Pemilihan model sangat tergantung pada karakteristik perkotaan dan perdesaan
serta karakteristik sampah yang ada di kawasan tersebut.
f. Daur ulang
Daur ulang mempunyai pengertian sebagai proses
menjadikan bahan bekas atau sampah menjadi menjadi bahan baru yang dapat
digunakan kembali. Dengan proses daur ulang, sampah dapat menjadi sesuatu yang
berguna sehingga bermanfaat untuk mengurangi penggunaan bahan baku yang baru.
Manfaat lainnya adalah menghemat energi, mengurangi polusi, mengurangi
kerusakan lahan dan emisi gas rumah kaca dari pada pada proses pembuat barang
baru. Daur ulang yang merupakan bagian ketiga adalam proses hierarki sampah 3R
(Reuse, Reduce, and Recycle) dan dapat dilakukan pada sampah kaca, plastik,
kertas, logam, tekstil, maupun barang elektronik.
Daur ulang
adalah sesuatu yang luar biasa yang bisa didapatkan dari sampah. Sebagai
contoh, proses daur ulang alumunium diyakini mampu menghemat energi hingga 95
persen dan mengurangi polusi udara hingga lebih dari 90 persen dibandingkan
proses pembuatan alumunium dari bahan mentah (bijih tambang).
Berikut ini merupakan tahap-tahap dari kegiatan daur
ulang yang dapat sobat lakukan:
1)
Mengumpulkan;
yakni mencari barang-barang yang telah di buang seperti kertas, botol air
mineral, dus susu, kaleng dan lain-lainya.
2)
Memilah;
yakni mengelompokkan sampah yang telah dikumpulkan berdasarkan jenisnya,
seperti kaca, kertas, dan plastik.
3)
Menggunakan
Kembali; Setelah dipilah, carilah barang yang masih bisa digunakan kembali
secara langsung. Bersihkan terlebih dahulu sebelum digunakan.
4)
Mengirim;
Kirim sampah yang telah dipilah ke tempat daur ulang sampah, atau menunggu
pengumpul barang bekas keliling yang akan dengan senang hati membeli barang
tersebut.
5)
Lakukan
Daur Ulang Sendiri; Jika mempunyai waktu dan ketrampilan kenapa tidak melakukan
proses daur ulang sendiri. Dengan kreatifitas berbagai sampah yang telah
terkumpul dan dipilah dapat disulap menjadi barang-barang baru yang bermanfaat
E. Studi
kasus pengolahan sampah yang berhasil
Kota Curitiba
dengan jargon “The Ecocity” tercatat sebagai salah satu kota terkumuh dan
termacet di Brazil pada dasawarsa 1970-an, Curitiba mampu bersolek diri secara
radikal. Kota tersebut kini menjadi kawasan paling apik di Negeri Samba.
Bahkan, pada 1996, Curitiba dianugerahi predikat “the most innovative city in
the world”. Banyak pemerintah kota di berbagai dunia melirik Curitiba.
Pada 1970-an
Curitiba terletak di sebelah tenggara Brazil, sekitar 1.081 km dari ibu kota
Brazil, dulunya merupakan kawasan langganan macet dan banjir. Curitiba juga
terancam ledakan penduduk, seperti kebanyakan kota di Amerika Latin saat itu.
Namun sebuah revolusi tata kota, Curitiba Master Plan, yang dicetuskan arsitek
Universitas Federal Parana oleh Jaime Lerner mengubah secara fundamental
ibukota negara bagian Parana.
Untuk menjamin
kota tetap bersih, pemerintah setempat mencanagkan program agar para warga
miskin diminta mengumpulkan satu kantong plastik sampah yang dapat ditukar
dengan susu, telur, atau tiket bus. Strategi pengelolaan sampah ini berpengaruh terhadap produktivitas
penduduk. Jika pada 1970-an warga Curitiba berpenghasilan di bawah rata-rata
penduduk Brazil, kini penghasilan mereka dua kali lipat pendapatan per kapita
nasional. Hal pertama yang tak mudah dilakukan
adalah memunculkan motivasi untuk
mengubah diri. Curitiba mampu mewujudkan dan menikmatinya sepanjang 25 tahun
terakhir ini lewat sebuah political will dan kepemimpinan yang kuat Membuat taman yang berestetika tinggi di bekas tempat
pembuangan sampah akhir (TPA) mungkin bukan hal mustahil. Di Curitiba, sampah
memang nyaris mendapatkan perhatian yang sangat besar dari masyarakat. Mungkin
ini kota yang menjadikan sampah sebagai barang barteran dengan makanan atau
barang berharga lainnya. Semakin berat sampah yang disetor, maka makin banyak
pula bahan makanan yang diperoleh.
Selain bukit itu, Curitiba juga memiliki taman indah lain. Salah satu di
antaranya, kawasan yang disebut Flower Street (Jalan Kembang).
Kita bisa
belajar dari menejemen Kota Curitiba yang memiliki motto Design by Nature. Di Curitiba pemerintah memberikan pendidikan
dan penyuluhan kepada masyarakat. Cara ini dijalankan dengan membentuk lembaga
semacam “Universitas” yang berfungsi untuk pendidikan lingkungan bagi
masyarakatnya secara gratis. Selain memberikan pendidikan lingkungan kepada
masyarakat, Curitiba juga melakukan pengelolaan sampah dengan melibatkan
partisipasi masyarakat. Masyarakat diminta secara aktif mengelola sampahnya
mulai dari rumah per rumah dengan melakukan pemisahan sampah (organik dengan
organik, non-organik dengan non-organik) untuk kemudian ditukarkan kepada
pemerintah dengan buku dan tiket angkutan umum. Selain itu, Curitiba juga
sangat memperhatikan krisis air, dan polusi udara. Daerah-daerah resapan air
benar-benar mendapatkan perhatian yang serius, misalnya dengan menyediakan
taman-taman kota yang berfungsi sebagai resapan air dan produksi oksigen
sekaligus sebagai tempat rekreasi bagi warganya. Langkah yang lain misalnya
bisa kita lihat dengan bagaimana cara pemerintah Kota Curitiba mengatasi
kemacetan transportasi.
Kota Curitiba
memang disebut-sebut sebagai sebuah kota masa depan, Dalam mencanangkan
programnya, pengembangan Kota Curitiba selalu memegang prinsip keramahan
lingkungan. Curitiba termasuk kategori kota yang sangat kreatif (creative
city), karena dengan modal yang sangat minim ia mampu menghasilkan penataan
kota yang optimal. Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah adalah
dengan mengumpulkan sampah dan memisahkannya sesuai dengan janisnya, misalnya
organik dengan organik, dan non-organik dengan non-organik sangat meminimalisir
resiko sampah
Dalam hal
persampahan, saat ini Curitiba mendaur ulang dua per tiga sampah yang ada di
kotanya. Angka tersebut merupakan tingkat daur ulang sampah tertinggi, bahkan
dibanding negara maju sekalipun. Hal-hal yang dilakukan Curitiba dalam hal
penanganan sampah ini antara lain:
Masyarakat
Curitiba membuang sampah organik dan anorganik secara terpisah yang dikumpulkan
oleh 2 jenis truk sampah. Orang-orang miskin yang tinggal di gang-gang sempit
yang tidak dilalui truk sampah, dapat membawa kantong sampahnya ke pusat
pengumpulan dengan imbalan berupa tiket bus, telur, susu, jeruk atau kentang
yang dibeli pemerintah dari kebun-kebun petani di pinggir kota. Sampah-sampah
yang ada didaur ulang di pusat pengolahan sampah yang mempekerjakan para
penyandang cacat, imigran, dan pecandu alkohol.
BAB
III
PENUTUP
1. Kesimpulan
a.
Sampah
adalah semua material yang dibuang dari kegiatan rumah tangga, perdagangan,
industri dan kegiatan pertanian. Sampah yang berasal dari kegiatan rumah tangga
dan tempat perdagangan dikenal dengan limbah municipal yang tidak berbahaya
(non hazardous)
b.
Masalah
pelayanan sampah di perkotaan tersebut akhir-akhir ini menjadi masalah yang
cukup serius dirasakan mengingat volumenya yang kian hari kian membengkak atau
bertambah sementara kemampuan aparat pemerintah dalam melayani sangat terbatas.
Hal ini berkaitan dengan laju pertumbuhan penduduk yang terus bertambah dari
waktu ke waktu beserta aktivitasnya menyebabkan meningkatnya sampah bukan hanya
dalam jumlah sampah tetapi juga dari variasi komposisi sampah. Disamping itu,
diperkuat juga dengan kecenderungan masyarakat modern untuk menghasilkan
berbagai macam sampah khususnya perilaku hidup masyarakat kota-kota besar di
Indonesia.
c.
Dampak
yang ditimbulkan akibat sampah adalah sebagai berikut: Perkembangan Vektor
Penyakit, Pencemaran Udara, Pencemaran Air, Pencemaran Tanah, Gangguan Estetika,
Kemacetan Lalu lintas, Gangguan Kebisingan.
d. Pengelolaan
sampah bertujuan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat dan kualitas
lingkungan serta menjadikan sampah sebagai sumberdaya. Dari sudut pandang
kesehatan lingkungan, pengelolaan sampah dipandang baik jika sampah tersebut
tidak menjadi media berkembang biaknya bibit penyakit serta sampah tersebut
tidak menjadi medium perantara menyebarluasnya suatu penyakit. Syarat lainnya
yang harus dipenuhi, yaitu tidak mencemari udara, air dan tanah, tidak
menimbulkan bau (tidak mengganggu nilai estetis), tidak menimbulkan kebakaran
dan yang lainnya.
2. Saran
Tidak ada hal yang
mencapai kesempurnaan meskipun setiap orang berusaha mewujudkan kesempurnaan
karena kesempurnaan hanyalah milik sang pencipta begitu halnya makalah ini masi
jau dri kesempurnaan meskipun telah diusahan dengan sebaik-baiknya, walau
demikian sang penulis masih mengharapkan keritik dan saran untuk perbaikan.
DAFTAR PUSTAKA
http://alamendah.wordpress.com
/2011/01/22/pengertian-dan-proses-daur-ulang./.
http://ecodin.blogspot.com
/2009/09/dampak-lingkungan-yang-ditimbulkan.html.
http://jepits.wordpress.com/2007/12/19/belajar-dari-kota
curitibapenerapan-kota-ekologis/
http://kiathidupsehat.com/tag/open-dumping/.
http://plhspensa.blogspot.com /2007/09/dampak-sampah-terhadap-lingkungan.
http://rusmadi-rusmadi.blogspot.com/2008/02/cita-cita-membangun-ecocity-yang.html
http://www2.kompas.com/kompascetak/0101/12/dikbud/menc2html
http://www.detikinet.com/index.php/detik.read/tahun/2006/bulan/02/tgl/14/time/065945/idnews/538401/idkanal/131.
.http://www.dephut.go.id/INFORMASI/SETJEN/PUSSTAN/info_5_1_0604/isi_4.
http://www.jala-sampah.or.id/index.htm.
http://www.walhi.or.id/kampanye/cemar/ sampah/peng_sampah_info/.
Undang-Undang No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan
Sampah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar