Rabu, 22 Maret 2017

Permasalahan sampah & pengolahannya



 BAB I
PENDAHULUAN
1.    Latar belakang
Berdasarkan Undang-Undang No. 18 Tahun 2008, sampah adalah sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/atau proses alam yang berbentuk padat. Pengelolaan sampah dimaksudkan adalah kegiatan yang sistematis, menyeluruh, dan berkesinambungan yang meliputi pengurangan dan penanganan sampah. Berdasarkan sifat fisik dan kimianya sampah dapat digolongkan menjadi: 1) sampah ada yang mudah membusuk terdiri atas sampah organik seperti sisa sayuran, sisa daging, daun dan lain-lain; 2) sampah yang tidak mudah membusuk seperti plastik, kertas, karet, logam, sisa bahan bangunan dan lain-lain; 3) sampah yang berupa debu/abu; dan 4) sampah yang berbahaya (B3) bagi kesehatan, seperti sampah berasal dari industri dan rumah sakit yang mengandung zat-zat kimia dan agen penyakit yang berbahaya.
Untuk mewujudkan kota bersih dan hijau, pemerintah telah mencanangkan berbagai program yang pada dasarnya bertujuan untuk mendorong dan meningkatkan kapasitas masyarakat dalam pengelolaan sampah. Program Adipura misalnya pada tahun 2007 telah mampu mengantarkan Provinsi Bali menjadi Provinsi Adipura karena semua kabupaten dan kota di Bali telah berhasil mendapatkan Anugerah Adipura. Walaupun telah mendapat adipura bukan berarti tidak terdapat permasalahan sampah, Apresiasi pemerintah dan masyarakat selalu dituntut untuk melakukan pengelolaan sampah sehingga pada gilirannya sampah dapat diolah secara mandiri dan menjadi sumberdaya. Mencermati penomena di atas maka sangat diperlukan model pengelolaan sampah yang baik dan tepat dalam upaya mewujudkan perkotaan dan perdesaan yang bersih dan hijau di Provinsi Bali.
Permasalahan sampah di Indonesia tidak hanya berakibat buruk pada lingkungan tapi sudah merenggut korban jiwa. Peristiwa longsornya Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Leuwigajah yang menewaskan 143 orang pada bulan Februari 2005 terulang kembali pada bulan September 2006 di TPA Bantargebang yang mengakibatkan tiga orang meninggal. Fakta empirik menunjukkan, jumlah penduduk yang terus meningkat akan meningkatkan konsumsi masyarakat dan hal ini akan mengakibatkan semakin bertambahnya timbunan sampah. Sedangkan pengelolaan sampah yang dilakukan saat ini, tidak lebih dari sekadar kumpul angkut buang. Artinya, sampah dari satu tempat dikumpulkan, diangkut lalu dibuang ke tempat lain.
Produksi sampah berhubungan linier dengan produktivitas dan aktivitas manusia. Dengan demikian, peningkatan jumlah sampah berbanding lurus dengan jumlah penduduk dan aktivitasnya. Penanganan yang dilakukan terhadap sampah yang ada, lazimnya adalah dengan penumpukan, pengumpulan, dan pengangkutan ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Permasalahan yang sering timbul antara lain adalah semakin terbatasnya lokasi tempat pembuangan akhir sampah tersebut (Bahar, 1986).
Volume sampah yang besar dan beranekaragam jenisnya jika tidak dikelola dengan baik dan benar sangat berpotensi menimbulkan berbagai permasalahan lingkungan yang kompleks dan serius, antara lain: 1) pencemaran air oleh “lindi” (leachate) yang keluar dari tumpukan sampah dan mengalir menuju badan perairan ataupun meresap ke dalam tanah; 2) pencemaran udara karena adanya gas metana (CH4), salah satu jenis gas rumah kaca, yang keluar dari tempat penimbunan akhir sampah akibat proses penguraian bahan organik secara anaerobik; 3) sampah merupakan habitat bagi berkembangnya bakteri patogen tertentu seperti Salmonella typhosa, Entamoeba coli, Escherichia coli, Vibrio cholera, Shigella dysentriae,Entamoeba histolytica, dan lain-lain yang dapat menimbulkan penyakit pada manusia; 4) menurunkan nilai estetika lingkungan; dan 5) mengurangi kenyamanan lingkungan.
Masalah pelayanan sampah di perkotaan tersebut akhir-akhir ini menjadi masalah yang cukup serius dirasakan mengingat volumenya yang kian hari kian membengkak atau bertambah sementara kemampuan aparat pemerintah dalam melayani sangat terbatas. Hal ini berkaitan dengan laju pertumbuhan penduduk yang terus bertambah dari waktu ke waktu beserta aktivitasnya menyebabkan meningkatnya sampah bukan hanya dalam jumlah sampah tetapi juga dari variasi komposisi sampah. Disamping itu, diperkuat juga dengan kecenderungan masyarakat modern untuk menghasilkan berbagai macam sampah khususnya perilaku hidup masyarakat kota-kota besar di Indonesia, seperti halnya Jakarta, Medan, Bandung, Surabaya dan kota-kota lainnya.
Program kebersihan kota dan penanggulangan sampah pada umumnya sudah dilaksanakan oleh hampir semua pemerintah daerah kota/kabupaten di seluruh nusantara, Fenomena ini memberikan implikasi kepada segala bidang kehidupan perkotaan dan salah satu diantaranya adalah implikasi terhadap peningkatan terhadap produksi sampah.
Tingkat kompleksitas masalah penanganan sampah ini, tidak terlepas dari implikasi masalah-masalah sebagai berikut : (1). Pesatnya pertumbuhan kota, (2). Pesatnya / cepatnya pertambahan penduduk di kota, akibatnya makin banyak pula sampah yang dihasilkan, (3). Tuntutan penyediaaan fasilitas publik perkotaan, (4). Keterbatasan kemampuan pemerintah untuk memberikan pelayanan publik yang baik termasuk dalam pengelolaan sampah, (5). Rendahnya kesadaran masyarakat dalam menjaga kebersihan lingkungan, rendahnya partisipasi dalam membayar retribusi layanan kebersihan.
Masalah sampah di perkotaan selama ini rata-rata telah dikelola oleh Dinas Pasar, Kebersihan dan Pertamanan yang bertanggung jawab dalam mewujudkan kebersihan kota, pasar, jalan, dan lingkungan. Namun terdapat beberapa kendala seperti terbatasnya, dana, SDM, serta sarana dan prasarana yang dimiliki oleh pemerintah daerah  Singingi sehingga beberapa wilayah atau kawasan kota masih tampak sampah berceceran tidak terangkut yang apabila dibiarkan akan menimbulkan berbagai dampak negatif baik dari segi ekologi, estetika, dan pada akhirnya berpengaruh pada kualitas lingkungan dan kesehatan masyarakat.  Dengan demikian apabila sampah perkotaan tidak di kelola dengan baik, selain akan menimbulkan masalah lingkungan, ekonomi, kesehatan, juga menimbulkan masalah terhadap keindahan kota.

2.    Rumusan masalah
Berdasarkan dari latar belakang makalah ini maka adapun rumusan masalahnya sebagai berikut:
1.      Apa yang dimaksud dengan sampah?
2.      Bagaimana sampah menjadi permasalahan?
3.      Apa saja dampak yang ditimbulkan sampah?
4.      Bagaimana pengolahan sampah?
3.    Tujuan
1.      Dapat mengetahui apa yang dimaksud dengan sampah.
2.      Dapat mengetahui bagaimana sampah menjadi permasalahan.
3.      Dapat memahami apa saja dampak yang ditimbulkan sampah.
4.      Dapat mengetahui bagaimana pengolahan sampah.










BAB II
PEMBAHASAN
A.  Pengertian
Sampah adalah semua material yang dibuang dari kegiatan rumah tangga, perdagangan, industri dan kegiatan pertanian. Sampah yang berasal dari kegiatan rumah tangga dan tempat perdagangan dikenal dengan limbah municipal yang tidak berbahaya (non hazardous).  Soewedo   (1983) menyatakan bahwa sampah adalah bagian dari sesuatu yang tidak dipakai, tidak disenangi atau sesuatu yang harus dibuang, yang umumnya berasal dari kegiatan yang dilakukan manusia (termasuk kegiatan industri), tetapi bukan yang biologis.
Berdasarkan komposisinya, sampah dibedakan menjadi dua, yaitu:
                           1.               Sampah Organik, yaitu sampah yang mudah membusuk seperti sisa makanan, sayuran, daun-daun kering, dan sebagainya. Sampah ini dapat diolah lebih lanjut menjadi kompos
                           2.               Sampah Anorganik, yaitu sampah yang tidak mudah membusuk, seperti plastik wadah pembungkus makanan, kertas, plastik mainan, botol dan gelas minuman, kaleng, kayu, dan sebagainya. Sampah ini dapat dijadikan sampah komersil atau sampah yang laku dijual untuk dijadikan produk lainnya.  Beberapa sampah anorganik yang dapat dijual adalah plastik wadah pembungkus makanan, botol dan gelas bekas minuman, kaleng, kaca, dan kertas, baik kertas koran, HVS, maupun karton. Di negara-negara berkembang komposisi sampah terbanyak adalah sampah organik, sebesar 60 – 70%, dan sampah anorganik sebesar ± 30%.
B.  Permasalahan sampah
Kehidupan manusia tidak lepas dengan sampah. Setiap orang, pasti menghasilkan sampah. Menurunnya kualitas lingkungan yang disebabkan oleh sampah terkait dengan adanya hubungan yang erat dan timbal balik antara jumlah penduduk, nilai dan perilaku masyarakat terhadap perwujudan sampah, organisasi pengelola sampah, serta sistem pengelolaan yang dilakukan. Di negara-negara berkembang termasuk Indonesia persoalan sampah lebih banyak disebabkan masalah sosialnya, dibandingkan dengan masalah teknologinya. Hal ini disebabkan karena persoalan teknologi pengolahan sampah sebenarnya sudah ada. Hanya penerapannya saja yang memerlukan penyesuaian-penyesuaian dengan kondisi setempat. Sedangkan persoalan sosial atau masyarakat memerlukan pendalaman khusus karena terkait dengan nilai dan norma masyarakat.
Masalah sampah perkotaan merupakan masalah yang selalu hangat dibicarakan baik di Indonesia maupun kota kota di dunia karena hampir semua kota menghadapi masalah persampahan. Meningkatnya pembangunan kota, pertambahan penduduk, tingkat aktivitas dan tingkat sosial ekonomi masyarakat, diiringi dengan meningkatnya jumlah timbulan sampah dari hari ke hari serta sarana dan prasarana pemerintah yang terbatas akan menambah permasalahan sampah yang semakin kompleks.
Permasalahan sampah di Indonesia tidak hanya berakibat buruk pada lingkungan tapi sudah merenggut korban jiwa. Peristiwa longsornya Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Leuwigajah yang menewaskan 143 orang pada bulan Februari 2005 terulang kembali pada bulan September 2006 di TPA Bantargebang yang mengakibatkan tiga orang meninggal. Fakta empirik menunjukkan, jumlah penduduk yang terus meningkat akan meningkatkan konsumsi masyarakat dan hal ini akan mengakibatkan semakin bertambahnya timbulan sampah. Sedangkan pengelolaan sampah yang dilakukan saat ini, tidak lebih dari sekadar kumpul angkut buang. Artinya, sampah dari satu tempat dikumpulkan, diangkut lalu dibuang ke tempat lain.
Produksi sampah berhubungan linier dengan produktivitas dan aktivitas manusia. Dengan demikian, peningkatan jumlah sampah berbanding lurus dengan jumlah penduduk dan aktivitasnya. Penanganan yang dilakukan terhadap sampah yang ada, lazimnya adalah dengan penumpukan, pengumpulan, dan pengangkutan ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Permasalahan yang sering timbul antara lain adalah semakin terbatasnya lokasi tempat pembuangan akhir sampah tersebut (Bahar, 1986).
Masalah pelayanan sampah di perkotaan tersebut akhir-akhir ini menjadi masalah yang cukup serius dirasakan mengingat volumenya yang kian hari kian membengkak atau bertambah sementara kemampuan aparat pemerintah dalam melayani sangat terbatas. Hal ini berkaitan dengan laju pertumbuhan penduduk yang terus bertambah dari waktu ke waktu beserta aktivitasnya menyebabkan meningkatnya sampah bukan hanya dalam jumlah sampah tetapi juga dari variasi komposisi sampah. Disamping itu, diperkuat juga dengan kecenderungan masyarakat modern untuk menghasilkan berbagai macam sampah khususnya perilaku hidup masyarakat kota-kota besar di Indonesia, seperti halnya Jakarta, Medan, Bandung, Surabaya dan kota-kota lainnya.
Tingkat kompleksitas masalah penanganan sampah ini, tidak terlepas dari implikasi masalah-masalah sebagai berikut :
1.      Pesatnya pertumbuhan kota
2.      Pesatnya / cepatnya pertambahan penduduk di kota, akibatnya makin banyak pula sampah yang dihasilkan
3.      Tuntutan penyediaaan fasilitas publik perkotaan,
4.      Keterbatasan kemampuan pemerintah untuk memberikan pelayanan publik yang baik termasuk dalam pengelolaan sampah,
5.      Rendahnya kesadaran masyarakat dalam menjaga kebersihan lingkungan, rendahnya partisipasi dalam membayar retribusi layanan kebersihan.
Paradigma baru dalam suatu pembangunan adalah lebih mengutamakan perencanaan dari bawah (bottom-up) untuk menghasilkan partisipasi maksimal dari masyarakat yang terlibat dalam proses pembangunan. Proses pembangunan yang sebenarnya, haruslah merupakan perubahan sosial budaya. Agar pembangunan menjadi proses yang dapat bergerak maju sendiri (self sustaining process) tergantung pada manusia dan struktur sosialnya. Demikian juga masalah pengelolaan sampah di perkotaan, apabila menginginkan dapat terselesaikan secara mendasar, maka masyarakat harus diberdayakan secara optimal. Dalam penanganan persampahan hendaknya pihak PEMDA melibatkan masyarakat khususnya dari segi teknis pengumpulan dan pengelolaan setempat. Masalah utama dibidang persampahan yang dewasa ini umum dihadapi diberbagai kota di Indonesia adalah :
1.    Aspek teknis/fisik
Keterbatasan kemampuan PEMDA dalam menyediakan sarana fisik untuk memenuhi tingkat pelayanan sesuai peningkatan jumlah sampah yang dihasilkan penduduk dari waktu ke waktu berkaitan dengan tata ruang kota dan memberikan dampak pada lingkungan seperti gangguan adanya lalat dan estetika sehingga banyaknya TPA dan pengelola yang didemo bahkan sampai berakibat anarkhi oleh masyarakat.
2.    Aspek Pengelolaan
Menyangkut keterbatasan PEMDA dalam melaksanakan pengelolaan seperti masalah organisasi tenaga kerja dan pendanaan. Kasus-kasus yang dijumpai pada penanganan sampah yang berhubungan dengan pengelolaan adalah :
                  a.     Belum baiknya planning dan programming jangka pendek maupun jangka panjang.
                  b.     Retribusi yang terkumpul pada umumnya sangat terbatas tidak sebanding dengan biaya operasional dan pemeliharaan.
3.    Aspek Sosial
Menyangkut keterbatasan pengetahuan dan kesadaran masyarakat dalam berperan serta selaku warga kota dan sekaligus penghasil sampah, yang memiliki hak dan kewajiban dalam menikmati serta mendukung pelayanan kota hal ini dengan sendirinya mengakibatkan rendahnya tingkat pelayanan perkotaan, sehingga sampah menumpuk akibat tidak terangkut.
4.    Aspek Pengaturan Hukum
Menyangkut kurang lengkapnya peraturan yang ada atau telah kedaluwarsa dan tidak tegasnya sanksi sehingga peraturan tersebut menjadi mandul.
5.    Aspek Lingkungan
Menyangkut dampak negatifnya dari masalah sampah terhadap lingkungan perkotaan, seperti adanya banjir dan bau.
C.  Dampak lingkungan yang ditimbulkan akibat sampah
Sampah merupakan hasil sampingan dari kegiatan manusia sehari-hari. Jumlah sampah yang semakin besar memerlukan pengelolaan yang harus dilakukan  secara bertanggung jawab.Selama tahapan penanganan sampah banyak kegiatan dan fasilitas yang bila tidak dilakukan / disediakan dengan benar akan menimbulkan dampak yang berpotensi mengganggu lingkungan.
1.    Perkembangan Vektor Penyakit
Wadah sampah merupakan tempat yang sangat ideal bagi pertumbuhan vektor penyakit terutama lalat dan tikus. Hal ini disebabkan dalam wadah sampah tersedia sisa makanan dalam jumlah yang besar. Tempat Penampungan Sementara / Container juga merupakan tempat berkembangnya vektor tersebut karena alasan yang sama. Sudah barang tentu akan menurunkan kualitas kesehatan lingkungan sekitarnya.
Vektor penyakit terutama lalat sangat potensial berkembangbiak di lokasi TPA. Hal ini terutama disebabkan oleh frekwensi penutupan sampah yang tidak dilakukan sesuai ketentuan sehingga siklus hidup lalat dari telur menjadi larva telah berlangsung sebelum penutupan dilaksanakan. Gangguan akibat lalat umumnya dapat ditemui sampai radius 1-2 km dari lokasi TPA
2.    Pencemaran Udara
Sampah yang menumpuk dan  tidak segera terangkut merupakan sumber bau tidak sedap yang memberikan efek buruk bagi daerah sensitif sekitarnya seperti permukiman, perbelanjaan, rekreasi, dan lain-lain. Pembakaran sampah seringkali terjadi pada sumber dan lokasi pengumpulan terutama bila terjadi penundaan proses pengangkutan sehingga menyebabkan kapasitas tempat terlampaui. Asap yang timbul sangat potensial menimbulkan gangguan bagi lingkungan sekitarnya.
Sarana pengangkutan yang tidak tertutup dengan baik juga sangat berpotensi menimbulkan masalah bau di sepanjang jalur yang dilalui, terutama akibat bercecerannya air lindi dari bak kendaraan.Pada instalasi pengolahan terjadi berupa pelepasan zat pencemar ke udara dari hasil pembuangan sampah yang tidak sempurna; diantaranya berupa : partikulat, SO x, NO x, hidrokarbon, HCl, dioksin, dan lain-lain. Proses dekomposisi sampah di TPA secara kontinu akan berlangsung dan dalam hal ini akan dihasilkan berbagai gas seperti CO, CO2, CH4, H2S, dan lain-lain yang secara langsung akan mengganggu komposisi gas alamiah di udara, mendorong terjadinya pemanasan global, disamping efek yang merugikan terhadap kesehatan manusia di sekitarnya.
Pembongkaran sampah dengan volume yang besar dalam lokasi pengolahan berpotensi menimbulkan gangguan bau.  Disamping itu juga sangat mungkin terjadi pencemaran berupa asap bila sampah dibakar pada instalasi yang tidak memenuhi syarat teknis.
Seperti halnya perkembangan populasi lalat, bau tak sedap di TPA juga timbul akibat penutupan sampah yang tidak dilaksanakan dengan baik. Asap juga seringkali timbul di TPA akibat terbakarnya tumpukan sampah baik secara sengaja maupun tidak. Produksi gas metan yang cukup besar dalam tumpukan sampah menyebabkan api sulit dipadamkan sehingga asap yang dihasilkan akan sangat mengganggu daerah sekitarnya.
3.    Pencemaran Air
Prasarana dan sarana pengumpulan yang terbuka sangat potensial menghasilkan lindi terutama pada saat turun hujan. Aliran lindi ke saluran atau tanah sekitarnya akan menyebabkan terjadinya pencemaran.Instalasi pengolahan berskala besar menampung sampah dalam jumlah yang cukup besar pula sehingga potensi lindi yang dihasilkan di instalasi juga cukup potensial untuk menimbulkan pencemaran air dan tanah di sekitarnya.Lindi yang timbul di TPA sangat mungkin mencemari lingkungan sekitarnya baik berupa rembesan dari dasar TPA yang mencemari air tanah di bawahnya. Pada lahan yang terletak di kemiringan, kecepatan aliran air tanah akan cukup tinggi sehingga dimungkinkan terjadi cemaran terhadap sumur penduduk yang trerletak pada elevasi yang lebih rendah.
Pencemaran lindi juga dapat terjadi akibat efluen pengolahan yang belum memenuhi syarat untuk dibuang ke badan air penerima. Karakteristik pencemar lindi yang sangat besar akan sangat mempengaruhi kondisi badan air penerima terutama air permukaan yang dengan mudah mengalami kekurangan oksigen terlarut sehingga mematikan biota yang ada.
4.    Pencemaran Tanah
Pembuangan sampah yang tidak dilakukan dengan baik misalnya di lahan kosong atau TPA yang dioperasikan secara sembarangan akan menyebabkan lahan setempat mengalami pencemaran akibat tertumpuknya sampah organik dan mungkin juga mengandung Bahan Buangan Berbahaya (B3). Bila hal ini terjadi maka akan diperlukan waktu yang sangat lama sampai sampah terdegradasi atau larut dari lokasi tersebut. Selama waktu itu lahan setempat berpotensi menimbulkan pengaruh buruk terhadap manusia dan lingkungan sekitarnya.
5.    Gangguan Estetika
Lahan yang terisi sampah secara terbuka akan menimbulkan kesan pandangan yang sangat buruk sehingga mempengaruhi estetika lingkungan sekitarnya.  Hal ini dapat terjadi baik di lingkungan permukiman atau juga lahan pembuangan sampah lainnya. Proses pembongkaran dan pemuatan sampah di sekitar lokasi pengumpulan sangat mungkin menimbulkan tumpahan sampah yang bila tidak segera diatasi akan menyebabkan gangguan lingkungan. Demikian pula dengan ceceran sampah dari kendaraan pengangkut sering terjadi bila kendaraan tidak dilengkapi dengan penutup yang memadai.
Di TPA ceceran sampah terutama berasal dari kegiatan pembongkaran yang tertiup angin atau ceceran dari kendaraan pengangkut. Pembongkaran sampah di dalam area pengolahan maupun ceceran sampah dari truk pengangkut akan mengurangi estetika lingkungan sekitarnya. Sarana pengumpulan dan pengangkutan yang tidak terawat dengan baik merupakan sumber pandangan yang tidak baik bagi daerah yang dilalui.
Lokasi TPA umumnya didominasi oleh ceceran sampah baik akibat pengangkutan yang kurang baik, aktivitas pemulung maupun tiupan angin pada lokasi yang sedang dioperasikan. Hal ini menimbulkan pandangan yang tidak menyenangkan bagi masyarakat yang melintasi / tinggal berdekatan dengan lokasi tersebut.
6.    Kemacetan Lalu lintas
Lokasi penempatan sarana / prasarana pengumpulan sampah yang biasanya berdekatan dengan sumber potensial seperti pasar, pertokoan, dan lain-lain serta kegiatan bongkar muat sampah berpotensi menimbulkan gangguan terhadap arus lalu lintas. Arus lalu lintas angkutan sampah terutama pada lokasi tertentu seperti transfer station atau TPA berpotensi menjadi gerakan kendaraan berat yang dapat mengganggu lalu lintas lain; terutama bila tidak dilakukan upaya-upaya khusus untuk mengantisipasinya.
Arus kendaraan pengangkut sampah masuk dan keluar dari lokasi pengolahan akan berpotensi menimbulkan gangguan terhadap lalu lintas di sekitarnya terutama berupa kemacetan pada jam-jam kedatangan. Pada TPA besar dengan frekwensi kedatangan truck yang tinggi sering menimbulkan kemacetan pada jam puncak terutama bila TPA terletak berdekatan dengan jalan umum.
7.    Gangguan Kebisingan
Kebisingan akibat lalu lintas kendaraan berat / truck timbul dari mesin-mesin, bunyi rem, gerakan bongkar muat hidrolik, dan lain-lain yang dapat mengganggu daerah-daerah sensitif di sekitarnya. Di instalasi pengolahan kebisingan timbul akibat lalu lintas kendaraan truk sampah disamping akibat bunyi mesin pengolahan (tertutama bila digunakan mesin pencacah sampah atau shredder). Kebisingan di sekitar lokasi TPA timbul akibat lalu lintas kendaraan pengangkut sampah menuju dan meninggalkan TPA; disamping operasi alat berat yang ada.
8.    Dampak Sosial
Hampir tidak ada orang yang akan merasa senang dengan adanya pembangunan tempat pembuangan sampah di dekat permukimannya. Karenanya tidak jarang menimbulkan sikap menentang / oposisi dari masyarakat dan munculnya keresahan. Sikap oposisi ini secara rasional akan terus meningkat seiring dengan peningkatan pendidikan dan taraf hidup mereka, sehingga sangat penting untuk mempertimbangkan dampak ini dan mengambil langkah-langkah aktif untuk menghindarinya.
                  a.     Dampak Sosial Terhadap masyarakat
1)   Kerukunan
Permasalahan sampah dapat berkaitan dengan nilai kerukunan, atau sebaliknya justru dapat menambah kerukunan. Orang yang sering membuang sampah di sekitar tempat tinggalnya dan mencemari ligkungan dapat menimbulkan ketidaksenangan tetangganya. Hal yang demikian ini dapat menimbulkan keretakan hubungan antara tetangga. Kondisi yang demikian perlu di ubah agar terjadi hal yang sebaliknya, yakni dapat semakin meningkatkan kerukunan.
Misalnya pada awalnya tetangga yang merasa dirugikan melaporkan kepada RT atau yang berwenang. Selanjutnya ketua RT pejabat memanggil warganya untuk bermusyawarah dan mengadakan penyuluhan kebersihan. Akhirnya perlu diadakan gotong royong melakukan pembersihan lingkungan agar setia warga merasa bertanggung jawab terhadap kebersihan lingkungannya.
2)   Kesanggupan
Setiap warga hendaknya memiliki kesanggupan untuk menempatkan sampah pada tempatnya, memisahkan sampah yang terurai dan yang tidak teruai, menjaga kebersihan lingkungannya, dan tidak membuang sampah yang tergolong bahan beracun dan berbahaya (B3) ke sembaranga tempat. Pekerjaan tersebut bukanlah pekerjaan yang sulit dilakukan, juga bukan merupakan pekerjaan yang mustahil untuk dilakukan. Maka yang dipentingkan adalah kesadaran dan kesanggupan.
                  b.     Dampak Sampah Terhadap Keadaan Sosial dan Ekonomi
1)   Pengelolaan sampah yang kurang baik akan membentuk lingkungan yang kurang menyenangkan bagi masyarakat ; bau yang tidak sedap dan pemandangan yang buuk karena sampah bertebaran dimana-mana.
2)   Memberikan dampak negative terhadap kepariwisataan.
3)   Pengelolaan sampah tidak memadai menyebabkan rendahnya tingkat kesehatan masyarakat. Hal penting disini adalah meningkatnya pembiayaan-pembiayaan secara langsung (untuk mengobati orang sakit) dan pembiayaan secara tidak langsung (tidak mau kerja, rendahnya produktivitas) Berdasarkan pola penanganan sampah yang dilakukan pada daerah perkotaan bahwa tanggung jawab pengelolaan sampah adalah menjagi tanggung jawab pemerintah daerah (PEMDA), untuk itu PEMDA berkewajiban untuk melaksanakan :
                                           I.     Perbaikan manajemen serta peraturan daerah.
                                        II.     Promosi dan meningkatkan peran serta masyarakat
                                     III.     Mengembangkan program persampahan sesuai dengan kondisi daerah masing-masing demi terciptanya lingkungan bersih dan sehat.
                                     IV.     Exploitasi dan pemeliharaan peralatan persampahan secara terus menerus dengan penuh tanggung jawab, antara lain berkaitan dengan besarnya investasi yang tertanam dalam sarana persampahan.
D.  Pengolahan sampah
1.      Faktor yang berpengaruh dalam pengolahan sampah
Pengelolaan sampah bertujuan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat dan kualitas lingkungan serta menjadikan sampah sebagai sumberdaya. Dari sudut pandang kesehatan lingkungan, pengelolaan sampah dipandang baik jika sampah tersebut tidak menjadi media berkembang biaknya bibit penyakit serta sampah tersebut tidak menjadi medium perantara menyebarluasnya suatu penyakit. Syarat lainnya yang harus dipenuhi, yaitu tidak mencemari udara, air dan tanah, tidak menimbulkan bau (tidak mengganggu nilai estetis), tidak menimbulkan kebakaran dan yang lainnya ( Aswar, 1986).
Meningkatnya volume sampah yang dihasilkan oleh masyarakat urban dapat disaksikan dari Kota Denpasar, yaitu pada tahun 2002 rata-rata produksi sampah sekitar 2.114 m3/hari yang bersumber dari sampah rumah tangga, sampah sejenis sampah rumah tangga, dan sampah spesifik. Dalam jangka waktu 4 tahun, yaitu tahun 2006, jumlah produksi sampah telah meningkat menjadi 2.200 m3/hari (Tim Kota Sanitasi Kota Denpasar, 2007). Sementara itu, rendahnya pengetahuan, kesadaran, dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah menjadi suatu permasalahan yang perlu mendapat perhatian dalam pengelolaan lingkungan bersih dan sehat.  Faktor-faktor yang mempengaruhi pengelolaan sampah di antaranya:  
a.    sosial politik, yang menyangkut kepedulian dan komitment pemerintah dalam menentukan anggaran APBD untuk pengelolaan lingkungan (sampah), membuat keputusan publik dalam pengelolaan sampah serta upaya pendidikan, penyuluhan dan latihan keterampilan untuk meningkatkan kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah.
b.    Aspek Sosial Demografi yang meliputi sosial ekonomi (kegiatan pariwisata, pasar dan pertokoan, dan kegiatan rumah tangga.
c.    Sosial Budaya yang menyangkut keberadaan dan interaksi antarlembaga desa/adat, aturan adat (awig-awig), kegiatan ritual (upacara adat/keagamaan), nilai struktur ruang Tri Mandala, jiwa pengabdian sosial yang tulus, sikap mental dan perilaku warga yang apatis.
d.   keberadan lahan untuk tempat penampungan sampah.
e.    finansial (keuangan).
f.     keberadaan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
g.    kordinasi antarlembaga yang terkait dalam penanggulangan masalah lingkungan (sampah).
Pengelolaan sampah perkotaan juga memiliki faktor-faktor pendorong dan penghambat dalam upaya peningkatan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah. Menurut hasil penelitian Nitikesari (2005) faktor-faktor tersebut di antaranya adalah tingkat pendidikan, penempatan tempat sampah di dalam rumah, keberadaan pemulung, adanya aksi kebersihan, adanya peraturan tentang persampahan dan penegakan hukumnya. Tingkat partisipasi masyarakat perkotaan (Kota Denpasar) dalam menangani sampah secara mandiri masih dalam katagori sedang sampai rendah, masyarakat masih enggan melakukan pemilahan sampah. Sampah semakin hari semakin sulit dikelola, sehingga disamping kesadaran dan partisipasi masyarakat, pengembangan teknologi dan model pengelolaan sampah merupakan usaha alternatif untuk memelihara lingkungan yang sehat dan bersih serta dapat memberikan manfaat lain.
2.    Kondisi pengolahan sampah saat ini
Berdasarkan data SLHD Bali (2005) tampak bahwa pada saat ini sampah sulit dikelola karena berbagai hal, antara lain:
a.       Cepatnya perkembangan teknologi, lebih cepat daripada kemampuan masyarakat untuk mengelola dan memahami porsoalan sampah
b.      Menigkatnya tingkat hidup masyarakat, yang tidak disertai dengan keselarasan pengetahuan tentang sampah
c.       Meningkatnya biaya operasional pengelolaan sampah
d.      Pengelolaan sampah yang tidak efisien dan tidak benar menimbulkan permasalahan pencemaran udara, tanah, dan air serta menurunnya estetika.
e.       Ketidakmampuan memelihara barang, mutu produk teknologi yang rendah akan mempercepat menjadi sampah.
f.       Semakin sulitnya mendapat lahan sebagai tempat pembuangan ahir sampah.
g.      Semakin banyaknya masyarakat yang keberatan bahwa daerahnya dipakai tempat pembuangan sampah.
h.      Sulitnya menyimpan sampah yang cepat busuk, karena cuaca yang panas.
i.        Sulitnya mencari partisipasi masyarakat untuk membuang sampah pada tempatnya dan memelihara kebersihan.
j.        Pembiayaan yang tidak memadai, mengingat bahwa sampai saat ini kebanyakan sampah dikelola oleh pemerintah.
Penanganan sampah yang telah dilakukan adalah pengumpulan sampah dari sumber-sumbernya, seperti dari masyarakat (rumah tangga) dan tempat-tempat umum yang dikumpulkan di TPS yang telah disediakan. Selanjutnya diangkut dengan truk yang telah dilengkapi jarring ke TPA. Bagi daerah-daerah yang belum mendapat pelayanan pengangkutan mengingat sarana dan prasara yang terbatas telah dilakukan pengelolaan sampah secara swakelola dengan beberapa jenis bantuan fasilitas pengangkutan. Bagi Usaha atau kegiatan yang menghasilkan sampah lebih dari 1 m3/hari diangkut sendiri oleh pengusaha atau bekerjasama dengan pihak lainnya seperti desa/kelurahan atau pihak swasta. Penanganan sampah dari sumber-sumber sampah dengan cara tersebut cukup efektif.
Beberapa usaha yang telah berlangsung di TPA untuk mengurangi volume sampah, seperti telah dilakukan pemilahan oleh pemulung untuk sampah yang dapat didaur ulang. Ini ternyata sebagai matapencaharian untuk mendapatkan penghasilan. Terhadap sampah yang mudah busuk telah dilakukan usaha pengomposan. Namun usaha tersebut masih menyisakan sampah yang harus dikelola yang memerlukan biaya yang tinggi dan lahan luas. Penanganan sisa sampah di TPA sampai saat ini masih dengan cara pembakaran baik dengan insenerator atau pembakaran di tempat terbuka dan open dumping dengan pembusukan secara alami. Hal ini menimbulkan permasalahan baru bagi lingkungan, yaitu pencemaran tanah, air, dan udara.
Pengelolaan sampah dimasa yang akan datang perlu memperhatikan berbagai hal seperti:
1)   Penyusunan Peraturan daerah (Perda) tentang pemilahan sampah
2)   Sosialisasi pembentukan kawasan bebas sampah, seperti misalnya tempat-tempat wisata, pasar, terminal, jalan-jalan protokol, kelurahan, dan lain sebagainya
3)   Penetapan peringkat kebersihan bagi kawasan-kawasan umum
4)   Memberikan tekanan kepada para produsen barang-barang dan konsumen untuk berpola produksi dan konsumsi yang lebih ramah lingkungan
5)   Memberikan tekanan kepada produsen untuk bersedia menarik (membeli) kembali dari masyarakat atas kemasan produk yang dijualnya, seperti bungkusan plastik, botol, alluminium foil, dan lain lain.
6)   Peningkatan peran masyarakat melalui pengelolaan sampah sekala kecil, bisa dimulai dari tingkat desa/kelurahan ataupun kecamatan, termasuk dalam hal penggunaan teknologi daur ulang, komposting, dan penggunaan incenerator.
7)   Peningkatan efektivitas fungsi dari TPA
8)   Mendorong transformasi (pergeseran) pola konsumsi masyarakat untuk lebih menyukai produk-produk yang berasal dari daur ulang.
9)   Pengelolaan sampah dan limbah secara terpadu
10)    Melakukan koordinasi dengan instansi terkait baik di pusat maupun daerah, LSM, Perguruan Tinggi untuk peningkatan kapasitas pengelolan limbah perkotaan
11)    Melakukan evaluasi dan monitoring permasalahan persampahan dan pengelolaannya, kondisi TPA dari aspek lingkungan, pengembangan penerapan teknologi yang ramah lingkungan
12)    Optimalisasi pendanaan dalam pengelolaan sampah perkotaan, pengembangan sistem pendanaan pengelolaan sampah
13)    Konsistensi pelaksanaan peraturan perundangan tentang persampahan dan lingkungan hidup.
14)    Meningkatkan usaha swakelola penanganan sampah terutama sampah yang mudah terurai ditingkat desa/kelurahan
15)    Memberikan fasilitasi, dorongan, pendampingan/advokasi kepada masyarakat dalam upaya meningkatkan pengelolaan sampah.
3.    Metode pengolahan masalah sampah perkotaan dan pedesaan
Sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan pada Pasal 5 UU Pengelolan Lingkungan Hidup No.23 Th.1997, bahwa masyarakat berhak atas Lingkungan hidup yang baik dan sehat. Untuk mendapatkan hak tersebut, pada Pasal 6 dinyatakan bahwa masyarakat dan pengusaha berkewajiban untuk berpartisipasi dalam memelihara kelestarian fungsi lingkungan, mencegah dan menaggulangi pencemaran dan kerusakan lingkungan. Terkait dengan ketentuan tersebut, dalam UU NO. 18 Tahun 2008 secara eksplisit juga dinyatakan, bahwa setiap orang mempunyai hak dan kewajiban dalam pengelolaan sampah. Dalam hal pengelolaan sampah pasal 12 dinyatakan, setiap orang wajib mengurangi dan menangani sampah dengan cara berwawasan lingkungan. Masyarakat juga dinyatakan berhak berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan, pengelolaan dan pengawasan di bidang pengelolaan sampah.
Tata cara partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah dapat dilakukan dengan memperhatikan karakteristik dan tatanan sosial budaya daerah masing-masing. Berangkat dari ketentuan tersebut, tentu menjadi kewajiban dan hak setiap orang baik secara individu maupun secara kolektif, demikian pula kelompok masyarakat pengusaha dan komponen masyarakat lain untuk berpartisipasi dalam pengelolaan sampah dalam upaya untuk menciptakan lingkungan perkotaan dan perdesaan yang baik, bersih, dan sehat.
Beberapa pendekatan dan teknologi pengelolaan dan pengolahan sampah yang telah dilaksanakan antara lain adalah:
a.       Teknologi Komposting
Pengomposan adalah salah satu cara pengolahan sampah, merupakan proses dekomposisi dan stabilisasi bahan secara biologis dengan produk akhir yang cukup stabil untuk digunakan di lahan pertanian tanpa pengaruh yang merugikan (Haug, 1980). Penelitian yang dilakukan oleh Wahyu (2008) menemukan bahwa pengomposan dengan menggunakan metode yang lebih modern (aerasi) mampu menghasilkan kompos yang memiliki butiran lebih halus, kandungan C, N, P, K lebih tinggi dan pH, C/N rasio, dan kandungan Colform yang lebih rendah dibandingkan dengan pengomposan secara konvensional.
b.      Teknologi Pembuatan Pupuk Kascing
c.       Pengolahan sampah menjadi listrik.
Kota Denpasar, Kabupaten Badung, Gianyar dan Tabanan telah melakukan kerjasama dalam usaha pengelolaan sampah secara terpadu yang berorientasi pada teknologi dalam suatu Badan Bersama yaitu SARBAGITA.   Teknologi yang direncanakan yaitu teknologi GALFAD (gasifikasi landfill dan anaerobic digestion). Pengelolaan sampah dengan pendekatan teknologi diharapkan penanganan sampah lebih cepat, efektif dan efisien serta dapat memberikan manfaat lain. Kota Bandung, sebuah kota besar di Indonesa yang beberapa waktu yang lalu pernah heboh karena keberadaan sampah yang merayap bahkan hingga badan jalan-jalan utamanya. Jangankan jalan utama, saat Anda memasuki Bandung menuju flyover Pasupati, Anda pasti akan disambut dengan segunduk besar sampah yang hampir menutupi setengah badan jalan. Itu dulu. Sekarang, Kota Bandung sudah kembali menjadi sedia kala dan solusi PLTSa-lah yang sedang diperdebatkan.
Tujuan akhir dari sebuah PLTSa ialah untuk mengkonversi sampah menjadi energi. Pada dasarnya ada dua alternatif proses pengolahan sampah menjadi energi, yaitu proses biologis yang menghasilkan gas-bio dan proses thermal yang menghasilkan panas. PLTSa yang sedang diperdebatkan untuk dibangun di Bandung menggunakan proses thermal sebagai proses konversinya. Pada kedua proses tersebut, hasil proses dapat langsung dimanfaatkan untuk menggerakkan generator listrik. Perbedaan mendasar di antara keduanya ialah proses biologis menghasilkan gas-bio yang kemudian dibarak untuk menghasilkan tenaga yang akan menggerakkan motor yang dihubungkan dengan generator listrik sedangkan proses thermal menghasilkan panas yang dapat digunakan untuk membangkitkan steam yang kemudian digunakan untuk menggerakkan turbin uap yang dihubungkan dengan generator listrik.
d.      Pengelolaan sampah mandiri
Pengolahan sampah mandiri adalah pengolahan sampah yang dilakukan oleh masyarakat di lokasi sumber sampah seperti di rumah-rumah tangga. Masyarakat perdesaan yang umumnya memiliki ruang pekarangan lebih luas memiliki peluang yang cukup besar untuk melakukan pengolahan sampah secara mandiri. Model pengelolaan sampah mandiri akan memberikan manfaat lebih baik terhadap lingkungan serta dapat mengurangi beban TPA. Pemilahan sampah secara mandiri oleh masyarakat di Kota Denpasar masih tergolong rendah yakni baru mencapai 20% (Nitikesari, 2005).
e.       Pengelolaan sampah berbasis masyarakat
1)      Berbagai masalah yang dihadapi masyarakat dalam pengelolaan sampah pemukiman kota yang ada di Desa Seminyak, Sanur Kauh dan Sanur Kaja, dan Desa Temesi Gianyar, yaitu: masalah pengadaan lahan untuk lokasi devo, terbatasnya peralatan teknologi dan perawatannnya, terbatasnya dana untuk perekrutan tenaga kerja baru yang memadai, produksi kompos yang masih rendah, sulit dan terbatasnya pemasaran kompos sehingga secara ekonomi pengelola cendrung mengalami defisit.
2)      Model pengelolaan sampah pemukiman kota yang berbasis sosial kemasyarakatan dapat dilakukan secara adaptif dengan memperhatikan aspek karakteristik sosial dan budaya masyarakat, aspek ruang (lingkungan), volume, dan jenis sampah yang dihasilkan.
3)      Pola pengelolaan sampah berbasis masyarakat sebaiknya dilakukan secara sinergis (terpadu) dari berbagai elemen (Desa, pemerintah, LSM, pengusaha/swasta, sekolah, dan komponen lain yang terkait) dengan menjadikan komunitas lokal sebagai objek dan subjek pembangunan, khususnya dalam pengelolaan sampah untuk menciptakan lingkungan bersih, aman, sehat, asri, dan lestari Undang-Undang tentang pengelolaan sampah telah menegaskan berbagai larangan seperti membuang sampah tidak pada tempat yang ditentukan dan disediakan, membakar sampah yang tidak sesaui dengan persyaratan teknis, serta melakukan penanganan sampah dengan pembuangan terbuka di TPA. Penutupan TPA dengan pembuangan terbuka harus dihentikan dalam waktu 5 tahun setelah berlakunya UU No. 18 Tahun 2008. Dalam upaya pengembangan model pengelolaan sampah perkotaan harus dapat melibatkan berbagai komponen pemangku kepentingan seperti pemerintah daerah, pengusaha, LSM, dan masyarakat. Komponen masyarakat perkotaan lebih banyak berasal dari pemukiman (Desa Pakraman dan Dinas), sedangkan di perdesaan umumnya masih sangat erat kaitannya dengan keberadaan kawasan persawahan dengan kelembagaan subak yang mesti dilibatkan. Pemilihan model sangat tergantung pada karakteristik perkotaan dan perdesaan serta karakteristik sampah yang ada di kawasan tersebut.
f.       Daur ulang
Daur ulang mempunyai pengertian sebagai proses menjadikan bahan bekas atau sampah menjadi menjadi bahan baru yang dapat digunakan kembali. Dengan proses daur ulang, sampah dapat menjadi sesuatu yang berguna sehingga bermanfaat untuk mengurangi penggunaan bahan baku yang baru. Manfaat lainnya adalah menghemat energi, mengurangi polusi, mengurangi kerusakan lahan dan emisi gas rumah kaca dari pada pada proses pembuat barang baru. Daur ulang yang merupakan bagian ketiga adalam proses hierarki sampah 3R (Reuse, Reduce, and Recycle) dan dapat dilakukan pada sampah kaca, plastik, kertas, logam, tekstil, maupun barang elektronik.
Daur ulang adalah sesuatu yang luar biasa yang bisa didapatkan dari sampah. Sebagai contoh, proses daur ulang alumunium diyakini mampu menghemat energi hingga 95 persen dan mengurangi polusi udara hingga lebih dari 90 persen dibandingkan proses pembuatan alumunium dari bahan mentah (bijih tambang).
Berikut ini merupakan tahap-tahap dari kegiatan daur ulang yang dapat sobat lakukan:
1)      Mengumpulkan; yakni mencari barang-barang yang telah di buang seperti kertas, botol air mineral, dus susu, kaleng dan lain-lainya.
2)      Memilah; yakni mengelompokkan sampah yang telah dikumpulkan berdasarkan jenisnya, seperti kaca, kertas, dan plastik.
3)      Menggunakan Kembali; Setelah dipilah, carilah barang yang masih bisa digunakan kembali secara langsung. Bersihkan terlebih dahulu sebelum digunakan.
4)      Mengirim; Kirim sampah yang telah dipilah ke tempat daur ulang sampah, atau menunggu pengumpul barang bekas keliling yang akan dengan senang hati membeli barang tersebut.
5)      Lakukan Daur Ulang Sendiri; Jika mempunyai waktu dan ketrampilan kenapa tidak melakukan proses daur ulang sendiri. Dengan kreatifitas berbagai sampah yang telah terkumpul dan dipilah dapat disulap menjadi barang-barang baru yang bermanfaat
E.  Studi kasus pengolahan sampah yang berhasil
Kota Curitiba dengan jargon “The Ecocity” tercatat sebagai salah satu kota terkumuh dan termacet di Brazil pada dasawarsa 1970-an, Curitiba mampu bersolek diri secara radikal. Kota tersebut kini menjadi kawasan paling apik di Negeri Samba. Bahkan, pada 1996, Curitiba dianugerahi predikat “the most innovative city in the world”. Banyak pemerintah kota di berbagai dunia melirik Curitiba.
Pada 1970-an Curitiba terletak di sebelah tenggara Brazil, sekitar 1.081 km dari ibu kota Brazil, dulunya merupakan kawasan langganan macet dan banjir. Curitiba juga terancam ledakan penduduk, seperti kebanyakan kota di Amerika Latin saat itu. Namun sebuah revolusi tata kota, Curitiba Master Plan, yang dicetuskan arsitek Universitas Federal Parana oleh Jaime Lerner mengubah secara fundamental ibukota negara bagian Parana.
Untuk menjamin kota tetap bersih, pemerintah setempat mencanagkan program agar para warga miskin diminta mengumpulkan satu kantong plastik sampah yang dapat ditukar dengan susu, telur, atau tiket bus. Strategi pengelolaan sampah  ini berpengaruh terhadap produktivitas penduduk. Jika pada 1970-an warga Curitiba berpenghasilan di bawah rata-rata penduduk Brazil, kini penghasilan mereka dua kali lipat pendapatan per kapita nasional. Hal pertama yang tak mudah dilakukan  adalah  memunculkan motivasi untuk mengubah diri. Curitiba mampu mewujudkan dan menikmatinya sepanjang 25 tahun terakhir ini lewat sebuah political will dan kepemimpinan yang kuat Membuat  taman yang berestetika tinggi di bekas tempat pembuangan sampah akhir (TPA) mungkin bukan hal mustahil. Di Curitiba, sampah memang nyaris mendapatkan perhatian yang sangat besar dari masyarakat. Mungkin ini kota yang menjadikan sampah sebagai barang barteran dengan makanan atau barang berharga lainnya. Semakin berat sampah yang disetor, maka makin banyak pula bahan makanan yang diperoleh.  Selain bukit itu, Curitiba juga memiliki taman indah lain. Salah satu di antaranya, kawasan yang disebut Flower Street (Jalan Kembang).
Kita bisa belajar dari menejemen Kota Curitiba yang memiliki motto Design by Nature.  Di Curitiba pemerintah memberikan pendidikan dan penyuluhan kepada masyarakat. Cara ini dijalankan dengan membentuk lembaga semacam “Universitas” yang berfungsi untuk pendidikan lingkungan bagi masyarakatnya secara gratis. Selain memberikan pendidikan lingkungan kepada masyarakat, Curitiba juga melakukan pengelolaan sampah dengan melibatkan partisipasi masyarakat. Masyarakat diminta secara aktif mengelola sampahnya mulai dari rumah per rumah dengan melakukan pemisahan sampah (organik dengan organik, non-organik dengan non-organik) untuk kemudian ditukarkan kepada pemerintah dengan buku dan tiket angkutan umum. Selain itu, Curitiba juga sangat memperhatikan krisis air, dan polusi udara. Daerah-daerah resapan air benar-benar mendapatkan perhatian yang serius, misalnya dengan menyediakan taman-taman kota yang berfungsi sebagai resapan air dan produksi oksigen sekaligus sebagai tempat rekreasi bagi warganya. Langkah yang lain misalnya bisa kita lihat dengan bagaimana cara pemerintah Kota Curitiba mengatasi kemacetan transportasi.
Kota Curitiba memang disebut-sebut sebagai sebuah kota masa depan, Dalam mencanangkan programnya, pengembangan Kota Curitiba selalu memegang prinsip keramahan lingkungan. Curitiba termasuk kategori kota yang sangat kreatif (creative city), karena dengan modal yang sangat minim ia mampu menghasilkan penataan kota yang optimal. Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah adalah dengan mengumpulkan sampah dan memisahkannya sesuai dengan janisnya, misalnya organik dengan organik, dan non-organik dengan non-organik sangat meminimalisir resiko sampah
Dalam hal persampahan, saat ini Curitiba mendaur ulang dua per tiga sampah yang ada di kotanya. Angka tersebut merupakan tingkat daur ulang sampah tertinggi, bahkan dibanding negara maju sekalipun. Hal-hal yang dilakukan Curitiba dalam hal penanganan sampah ini antara lain:
Masyarakat Curitiba membuang sampah organik dan anorganik secara terpisah yang dikumpulkan oleh 2 jenis truk sampah. Orang-orang miskin yang tinggal di gang-gang sempit yang tidak dilalui truk sampah, dapat membawa kantong sampahnya ke pusat pengumpulan dengan imbalan berupa tiket bus, telur, susu, jeruk atau kentang yang dibeli pemerintah dari kebun-kebun petani di pinggir kota. Sampah-sampah yang ada didaur ulang di pusat pengolahan sampah yang mempekerjakan para penyandang cacat, imigran, dan pecandu alkohol.

BAB III
PENUTUP
1.    Kesimpulan
a.       Sampah adalah semua material yang dibuang dari kegiatan rumah tangga, perdagangan, industri dan kegiatan pertanian. Sampah yang berasal dari kegiatan rumah tangga dan tempat perdagangan dikenal dengan limbah municipal yang tidak berbahaya (non hazardous)
b.      Masalah pelayanan sampah di perkotaan tersebut akhir-akhir ini menjadi masalah yang cukup serius dirasakan mengingat volumenya yang kian hari kian membengkak atau bertambah sementara kemampuan aparat pemerintah dalam melayani sangat terbatas. Hal ini berkaitan dengan laju pertumbuhan penduduk yang terus bertambah dari waktu ke waktu beserta aktivitasnya menyebabkan meningkatnya sampah bukan hanya dalam jumlah sampah tetapi juga dari variasi komposisi sampah. Disamping itu, diperkuat juga dengan kecenderungan masyarakat modern untuk menghasilkan berbagai macam sampah khususnya perilaku hidup masyarakat kota-kota besar di Indonesia.
c.       Dampak yang ditimbulkan akibat sampah adalah sebagai berikut: Perkembangan Vektor Penyakit, Pencemaran Udara, Pencemaran Air, Pencemaran Tanah, Gangguan Estetika, Kemacetan Lalu lintas, Gangguan Kebisingan.
d.      Pengelolaan sampah bertujuan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat dan kualitas lingkungan serta menjadikan sampah sebagai sumberdaya. Dari sudut pandang kesehatan lingkungan, pengelolaan sampah dipandang baik jika sampah tersebut tidak menjadi media berkembang biaknya bibit penyakit serta sampah tersebut tidak menjadi medium perantara menyebarluasnya suatu penyakit. Syarat lainnya yang harus dipenuhi, yaitu tidak mencemari udara, air dan tanah, tidak menimbulkan bau (tidak mengganggu nilai estetis), tidak menimbulkan kebakaran dan yang lainnya.
2.    Saran
Tidak ada hal yang mencapai kesempurnaan meskipun setiap orang berusaha mewujudkan kesempurnaan karena kesempurnaan hanyalah milik sang pencipta begitu halnya makalah ini masi jau dri kesempurnaan meskipun telah diusahan dengan sebaik-baiknya, walau demikian sang penulis masih mengharapkan keritik dan saran untuk perbaikan.

DAFTAR PUSTAKA
http://alamendah.wordpress.com /2011/01/22/pengertian-dan-proses-daur-ulang./.
http://ecodin.blogspot.com /2009/09/dampak-lingkungan-yang-ditimbulkan.html.
http://jepits.wordpress.com/2007/12/19/belajar-dari-kota curitibapenerapan-kota-ekologis/
http://kiathidupsehat.com/tag/open-dumping/.
http://plhspensa.blogspot.com /2007/09/dampak-sampah-terhadap-lingkungan.
http://rusmadi-rusmadi.blogspot.com/2008/02/cita-cita-membangun-ecocity-yang.html
http://www2.kompas.com/kompascetak/0101/12/dikbud/menc2html
http://www.detikinet.com/index.php/detik.read/tahun/2006/bulan/02/tgl/14/time/065945/idnews/538401/idkanal/131.
.http://www.dephut.go.id/INFORMASI/SETJEN/PUSSTAN/info_5_1_0604/isi_4.
http://www.jala-sampah.or.id/index.htm.
http://www.walhi.or.id/kampanye/cemar/ sampah/peng_sampah_info/.
Undang-Undang No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah


Tidak ada komentar:

Posting Komentar