BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Republik
Indonesia membentuk kepulauan yang meliputi tiga zona waktu antara India dan
Samudera Pasifik. Merupakan negara keempat dengan populasi ternesar di dunia,
dan diperkirakan populasi pada tahun 2015 adalah 237,6 juta jiwa. Indonesia
merupakan negara dengan berbagai macam etnik, sekitar 300 kelompok etnik dari
17.508 pulau, dan diperkirakan sepuluh pulau dengan populasi terbanyak.
Indonesia memiliki 31 provinsi (dan dua daerah istimewa) dengan berbagai
tingkatan ekonomi. Pada tahun 2005, Bank Dunia menempatkan Indonesia sebagai
negara dengan tingkat pendapatan menengah ke bawah.
Situasi
ibu dan anak di Indonesia telah mengalami kemajuan, dan pada beberapa
indikator, Indonesia telah berada di jalur untuk mencapai MDGs 2015. Sebagai
contoh, Indonesia telah berusaha dengan baik untuk mencapai pendidikan dasar
dan tantangan yang tersisa serakang adalah bagaimana meningkatkan kualitas
pendidikan. Untuk indikator lain seperti rasio angka kematian ibu, pemerintah
harus bekerja lebih keras.
Masalah
Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia. Hal
ini dikarenakan masih tingginya angka kematian ibu dan angka kematian bayi yang
ada di Indonesia. Angka Kematian Ibu dan Angka Kematian Bayi di Indonesia
merupakan yang tertinggi di ASEAN dengan jumlah kematian ibu tiap tahunnya
mencapai 450 per seratus ribu kelahiran hidup yang jauh diatas angka kematian
ibu di Filipina yang mencapai 170 per seratus ribu kelahiran hidup, Thailand 44
per seratus ribu kelahiran hidup (Profil Kesehatan Indonesia, 2010).
Menurut
data Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007, Angka Kematian Ibu
(AKI) di Indonesia sebesar 228 per 100.000 kelahiran hidup, Angka Kematian Bayi
(AKB) sebesar 34 per pada 1000 kelahiran hidup. Berdasarkan kesepakatan global
(Millenium Develoment Goals/MDG’s 2000) untuk tahun 2015, diharapkan
angka kematian ibu menurun dari 228 pada tahun 2007 menjadi 102 per 100.000
kelahiran hidup dan angka kematian bayi menurun dari 34 pada tahun 2007 menjadi
23 per 1000 kelahiran hidup (Depkes, 2011).
Angka
Kematian Ibu dan bayi di Provinsi Sumatera Utara masih tergolong tinggi jika
dibandingkan dengan provinsi lainnya di Indonesia dengan angka kematian ibu
rata-rata 413 per seratus ribu kelahiran hidup yang menjadikan Provinsi Sumatera
Utara menjadi provinsi yang ke 6 dengan Angka Kematian Ibu tertinggi di
Indonesia bersama dengan Jawa Barat yaitu dengan Angka Kematian Ibu 2280 per
seratus ribu kelahiran hidup, Jawa Tengah dengan Angka Kematian Ibu sebesar
1766per seratus ribu kelahiran hidup, Nusa Tenggara Barat 370 per seratus ribu
kelahiran hidup. Untuk Angka Kematian Ibu juga masih tinggi di Provinsi
Sumatera Utara dengan kematian bayi 40 per 1.000 kelahiran hidup bersama dengan
Nusa Tenggara Barat dengan kematian bayi 60 per 1.000 kelahiran hidup (Profil
Kesehatan Indonesia, 2010) .
Periode
persalinan merupakan salah satu periode yang mengandung risiko bagi ibu hamil
apabila mengalami komplikasi yang dapat meningkatkan resiko kematian ibu dan
kematian bayi. Kematian ibu, kematian bayi dan juga berbagai komplikasi lainnya
pada umumnya terjadi pada masa persalinan, hal ini dikarenakan masa bersalin
setelah melahirkan dan 1 minggu pertama setelah melahirkan merupakan periode
yang berbahaya bagi ibu dan bayi, hal ini dapat dilihat dari data Lancet (2006)
bahwa sebanyak 60% ibu mengalami kematian pada periode ini (Profil Kesehatan
Indonesia, 2010). Hal ini juga sesuai dengan pendapat Yuliarti (2009) bahwa
hampir seperempat jumlah wanita di negara miskin akan mengalami komplikasi
kesehatan karena kehamilan dan persalinan yang dapat menyebabkan meningkatnya
angka kematian ibu dan bayi.
Oleh
karena itu, pada tahun 2011 Kementerian Kesehatan meluncurkan kebijakan Jaminan
Persalinan (Jampersal) sebagai upaya untuk meningkatkan akses masyarakat
terhadap persalinan yang sehat dengan cara memberikan kemudahan pembiayaan
kepada seluruh ibu hamil yang belum memiliki jaminan persalinan yang diberikan
kepada semua ibu hamil agar dapat mengakses pemeriksaan persalinan dan
pertolongan persalinan. Hal ini sesuai dengan pendapat Hapsari (2004) bahwa
persalinan bersih dan aman yang dilakukan oleh tenaga kesehatan merupakan salah
satu unsur penting dalam penurunan angka kematian ibu dan anak (Yuliarti,
2009).
Akan
tetapi pemanfaatan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan di masyarakat
masih sangat rendah jika dibandingkan dengan indikator yang diharapkan
pemerintah sebesar 90% persalinan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan. Hal ini
dapat dilihat dari data Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS, 2003-2004)
persentase kelahiran pada tahun 2003 yang ditolong oleh tenaga medis sekitar
56,95% dan pada tahun 2004 naik menjadi sekitar 57,51%. Sementara persentase
penolong persalinan oleh tenaga non medis masih cukup tinggi yaitu 43,05% pada
tahun 2003 dan 42,5% pada tahun 2004. Hal ini juga didapatkan berdasarkan data
Susenas tahun 2007, persalinan menggunakan dukun masih cukup tinggi, yaitu
mencapai 30,27%. Hal ini sejalan dengan hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2010
dimana berdasarkan tempat persalinan anak terakhir terdapat tenaga yang
menolong proses persalinan adalah dokter (2,1%), bidan (51,9%), paramedis lain
(1,4%), dukun (40,2%), serta keluarga (4,0%) (Riskesdas, 2010).
Cakupan
pertolongan persalinan yang masih belum sesuai target yang diberikan oleh
pemerintah menjadi salah satu masalah yang terjadi di beberapa daerah di
Indonesia, berdasarkan data Profil Kesehatan Indonesia tahun 2010 bahwa
Provinsi Sumatera Utara memiliki cakupann pertolongan persalinan sebesar 84%
yang masih jauh dibawah cakupan provinsi lain yaitu Provinsi Bali dengan 98,8%
dan beberapa propinsi lainnya yang cakupannya diatas 90%. Oleh karena itu,
masih diperlukannya usaha yang lebih keras lagi bagi Provinsi Sumatera Utara
untuk meningkatkan cakupan pertolongan persalinan yang dilakukan oleh tenaga
kesehatan (Depkes, 2010).
Di
daerah pedesaan misalnya masih kebanyakan ibu hamil lebih mempercayai dukun
beranak untuk menolong persalinan yang biasanya dilakukan di rumah. Hal ini
dikarenakan masih terdapatnya penolakan pengobatan modren yang disebabkan
prinsip pengobatan modren yang tidak cocok dengan pemahaman mereka tentang
pertolongan persalinan. Berdasarkan hasil penelitian Saimin (2005) bahwa
terdapat 42,6 % responden melakukan pemeriksaan kehamilan kepada dukun beranak,
hal ini semakin menguatkan bahwa masih banyaknya masyarakat yang masih
mempercayai dukun beranak dan 62,8% pertolongan persalinan dilakukan oleh dukun
beranak.
Fenomena
persalinan yang dilakukan oleh dukun beranak menjadi bagian yang cukup besar
pengaruhnya dalam menentukan kesehatan ibu dan bayi. Menurut Depkes (2011),
berdasarkan hasil penelitian dari 97 negara bahwa ada korelasi yang signifikan
antara pertolongan persalinan dengan kematian ibu. Semakin tinggi cakupan
persalinan oleh tenaga kesehatan di suatu wilayah akan diikuti penurunan
kematian ibu di wilayah tersebut. Namun sampai saat ini di beberapa wilayah di
Indonesia masih banyak ditemukan pertolongan persalinan yang masih dilakukan
oleh dukun bayi yang masih menggunakan cara-cara tradisional sehingga banyak
merugikan dan membahayakan keselamatan ibu dan bayi baru lahir. Di beberapa
daerah, keberadaan dukun bayi sebagai orang kepercayaan dalam menolong
persalinan, sosok yang dihormati dan berpengalaman, sangat dibutuhkan oleh
masyarakat keberadaannya. Berbeda dengan keberadaan bidan yang rata-rata masih
muda dan belum seluruhnya mendapatkan kepercayaan dari masyarakat (Depkes,
2011).
Banyak
hal yang membuat seorang ibu untuk memilih pertolongan persalinan, salah
satunya adalah karakteristik ibu ( umur, paritas, penghasilan, pendidikan) yang
dapat mempengaruhi keputusan ibu dalam menggunkan pertolongan persalinan. Hal
ini juga sesuai dengan pendapat Yuliarti (2009) bahwa masyarakat dengan
karakteristik tinggal di pedesaan, pendidikan SD- SMP atau tidak sekolah,tidak
bekerja, tidak memiliki jaminan kesehatan memiliki pencapaian dibawah 50% untuk
penggunaan persalinan di tenaga kesehatan. Hal ini juga sejalan dengan pendapat
Sutanto (2002) dalam bahwa pekerjaan, paritas dan tingkat risiko kehamilan ibu
memiliki kaitan dengan pencarian dan pemilihan pertolongan persalinan
(Yuliarti, 2009).
Pengetahuan
dapat menjadi salah faktor ibu dalam memanfaatkan persalinan. Hal ini sejalan
dengan hasil penelitian Yaziz (2008) bahwa mayoritas responden yang memiliki
pengetahuan cukup baik yang menggunakan pelayanan persalinan ke tenaga
kesehatan (bidan). Hal ini juga sesuai dengan pendapat Azwar (1996) dalam
Yuliarti (2009) bahwa pemanfaatan pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh tingkat
pendidikan dan juga sosial ekonomi orang tersebut, dimana tingkat pendidikan
dapat mempengaruhi pengetahuan seseorang. Hal ini juga sejalan dengan hasil
penelitian Heriyanti (2008) yang menunjukkan bahwa pengetahuan ibu memiliki
pengaruh terhadap pemanfaatan persalinan.
Sedangkan
menurut Anderson dalam Notoatmodjo (2003) yang menyatakan bahwa ada beberapa
faktor-faktor utama lainnya seperti faktor demografi, struktur social,
kepercayaan, kondisi keluarga dan kondisi masyarakat yang dapat mempengaruhi
seorang individu dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan termasuk juga pelayanan
pemanfaatan pertolongan persalinan. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian
Yaziz (2008) bahwa terdapat hubungan antara kepercayaan terhadap tenaga
kesehatan dengan pemanfaatan tenaga kesehatan (bidan). Hasil penelitian Yuliarti
(2009) juga menunjukkan bahwa kepercayaan yang tinggi terhadap pelayanan yang
diberikan dukun dapat mempengaruhi keputusan ibu dalam melakukan pemanfaatan
dukun beranak dalam penolong persalinan.
B.
Rumusan
masalah
Berdasarkan
dari latar belakang yang dipaparkan diatas maka adapun rumusan masala sebagai
berikut :
1. Apa
yang dimaksud dengan kesehatan ibu dan anak?
2. Bagaimana
masalah dan situasi kesehatan ibu dan anak secara global?
3. Bagaimana
masalah dan situasi kesehatan ibu dan anak di indonesia?
C.
Tujuan
Berdasarkan
rumusan masalah diatas maka adapun tujuan penulisan sebagai berikut :
1. Mengetahui
yang dimaksud dengan kesehatan ibu dan anak?
2. Mengetahui
masalah dan situasi kesehatan ibu dan anak secara global?
3. Mengetahui
masalah dan situasi kesehatan ibu dan anak di indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengartian
Kesehatan adalah satu masalah yang
harus diperhatikan dengan serius. Dan memang selama ini pemerintah tidak pernah
main-main dengan segala kebijakan yang berhubungan dengan kesehatan anak. Beberapa
kasus kesehatan anak yang akhirnyanya menjadi KLB atau Kasus Luar Biasa hingga
akhirnya pemerintah mengeluarkan keputusan untuk wajib mendapatkan imunisasi
tertentu di wilayah tersebut, itu merupakan satu sebagian kecil dari banyak
kasus masalah kesehatan anak Indonesia yang langsung ditangani oleh pemerintah.
Upaya kesehatan Ibu dan Anak adalah
upaya di bidang kesehatan yang menyangkut pelayanan dan pemeliharaan ibu
hamil, ibu bersalin, ibu menyusui, bayi dan anak balita serta anak prasekolah.
Pemberdayaan masyarakat bidang KIA merupakan upaya memfasilitasi masyarakat
untuk membangun sistem kesiagaan masyarakat dalam upaya mengatasi situasi gawat
darurat dari aspek non klinis terkait kehamilan dan persalinan. Sistem
kesiagaan merupakan sistem tolong-menolong, yang dibentuk dari, oleh, dan untuk
masyarakat, dalam hal penggunaan alat transportasi/komunikasi (telepon
genggam,telepon rumah), pendanaan, pendonor darah, pencatatan-pemantauan, dan
informasi KB. Dalam pengertian ini tercakup pula pendidikan kesehatan kepada
masyarakat, pemuka masyarakat, serta menambah keterampilan para dukun bayi
serta pembinaan kesehatan akan dilakukan di taman kanak-kanak.
B.
Masalah dan Situasi Kesehatan Ibu dan
Anak Global
Millenium
Development Goals (MDGs) merupakan komitmen nasional dan global dalam upaya
lebih menyejahterakan masyarakat melalui pengurangan kemiskinan dan kelaparan,
pendidikan, pemberdayaan perempuan, kesehatan, dan kelestarian lingkungan. 8
(delapan) tujuan (goals) menjadi komitmen MDGs mencakup: (1) Menanggulangi
Kemiskinan dan Kelaparan; (2) Mencapai Pendidikan Dasar untuk Semua; (3)
Mendorong Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan; (4) Menurunkan Angka
Kematian Anak; (5) Meningkatkan Kesehatan Ibu; (6) Memerangi HIV/AIDS, Malaria
dan Penyakit Menular lainnya; (7) Memastikan Kelestarian Lingkungan Hidup; dan
(8) Membangun Kemitraan Global untuk Pembangunan.
Gizi
ibu dan anak telah meluas dan merusak kondisi berpenghasilan rendah dan
menengah seluruh negara. Sebuah kerangka yang dikembangkan oleh UNICEF mengakui
dasar dan mendasari penyebab gizi, termasuk, lingkungan ekonomi, dan
faktor-faktor kontekstual sosial politik, dengan kemiskinan memiliki Peran
sentral (Ezzati, dkk, 2005). Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) negara yaitu
untuk mengurangi separuh antara tahun 1990 dan 2015 proporsi orang yang
menderita kelaparan. Salah satu dari 7 indikator untuk memantau kemajuan untuk
target ini adalah proporsi anak yang kurus-yaitu, berat badan rendah dibandingkan
dengan yang diharapkan untuk anak seusia dan jenis kelamin yang sama. Indikator
antropometrik ini dapat menunjukkan wasting (yaitu, rendah berat badan,
menunjukkan berat badan akut yang hilang), dan pengerdilan/stunting (yaitu,
rendah tinggi badan untuk-usia yang normal, disebut juga kelainan kronis. Kedua
kondisi tersebut memerlukan penanganan yang berbeda (Caufleld, dkk, 2004).
Ibu
bertubuh pendek dan indeks massa tubuh rendah di masa kehamilan dan menyusui
mengalami kekurangan gizi, termasuk energi kronis dan defisiensi mikronutrien,
lazim di banyak daerah, terutama Asia Selatan Tengah, di mana di beberapa
negara lebih dari 10% dari wanita usia 15-49 tahun mengalami stunting lebih
pendek dari 145 cm.
Masalah
serius kurang gizi pada ibu yang ditandai dengan indeks massa tubuh kurang dari
18,5 kg di sebagian besar negara di sub-Sahara Afrika, selatan-tengah dan
tenggara Asia, dan di Yaman, di mana lebih dari 20% wanita memiliki indeks
massa tubuh kurang dari 18,5 kg /m². Dengan prevalensi rendah indeks massa
tubuh sekitar 40% pada perempuan, situasi dapat dianggap penting di India,
Bangladesh, dan Eritrea. Ibu bertubuh pendek dan rendah indeks massa tubuh
memiliki pengaruh buruk pada hasil kehamilan nanti. Status gizi seorang wanita
sebelum dan selama kehamilan adalah penting untuk hasil kehamilan yang sehat.
Perawakan pendek ibu merupakan faktor risiko untuk kehamilan caesar, terutama
terkait dengan disproporsi cephalopelvic (Kramer MS, 1987). Kurang Gizi pada
ibu memiliki efek pada volume atau komposisi ASI kecuali malnutrisi parah.
Konsentrasi dari beberapa mikronutrien (vitamin A, iodium, thiamin, riboflavin,
pyridoxine, dan cobalamin) dalam ASI tergantung dari asupan dan status ibu
sehingga risiko bayi kecil meningkat akibat defisiensi gizi pada ibu (Allen LH,
1994).
1.
Kematian Ibu
Kematian ibu merupakan kematian ibu selama kehamilan,
melahirkan, atau dalam 42 hari setelah melahirkan. Diperkirakan ada 342.900
(interval 302.100-394.300) kematian ibu di seluruh dunia pada tahun 2008, turun
dari 526.300 (446.400-629.600) pada tahun 1980. Rasio kematian ibu global yang
menurun dari 422 (358-505) pada 1980-320 (272-388) pada tahun 1990, dan 251
(221-289) per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2008. Tingkat tahunan
penurunan rasio kematian ibu dunia sejak tahun 1990 adalah 1,3% (1,0 -1,5). Selama
1990-2008, tingkat penurunan tahunan rasio kematian ibu bervariasi antara
negara, dari 8,8% (8,7 -14.1) di Maladewa peningkatan dari 5,5% (5,2 -5 · 6) di
Zimbabwe. Lebih dari 50% dari semua ibu kematian berada di hanya enam negara
pada tahun 2008 (India, Nigeria, Pakistan, Afghanistan, Ethiopia, dan Demokrat
Republik Kongo). Dengan tidak adanya HIV, akan ada 281.500 (243.900-327.900)
kematian ibu di seluruh dunia pada tahun 2008.
Kecenderungan jumlah kematian global dengan terjadinya HIV
epidemi di awal 1990-an, terdapat perlambatan dalam penurunan kematian ibu
global, dengan tingkat penurunan dari 1,8% antara tahun 1980 dan 1990 dan 1,4%
dari tahun 1990 sampai 2008. MMR menunjukkan penurunan yang konsisten yang
sama; kami memperkirakan MMR global untuk menjadi 251 (221-289) per 100.000
kelahiran hidup pada tahun 2008, turun dari 320 (272-388) pada tahun 1990 dan
422 (358-505) pada tahun 1980, yang merupakan tingkat tahunan penurunan dari
1,8%. Sebagai perbandingan, target MDG dari 75% pengurangan dari tahun 1990
MMRs pada tahun 2015 akan memerlukan tingkat penurunan tahunan sebesar 5,5%.
Dengan tidak adanya prevalensi HIV, kami memperkirakan bahwa MMR global pada
tahun 2008 akan menjadi 206 (179-240).
2.
Angka Kematian Bayi
Tingkat kematian di seluruh dunia untuk anak balita menurun
terus menerus dari dasar MDG pada tahun 1990 untuk hadir pada tingkat tahunan
sebesar 2,2% (Interval ketidakpastian 1,8 -2,6). Pada tahun 2011, ada 7.2 (6.6
-7,8) juta kematian pada anak balita. Fraksi kematian di sub-Sahara Afrika
telah meningkat dari 33% (3,9 juta dari 11,6 juta) pada tahun 1990 menjadi 49%
(3,5 juta dari 7,2 juta) pada tahun 2011. Kontribusi kematian di utara Afrika
dan Timur Tengah telah menurun dari 5,7% (0,66 juta 11,6 juta) menjadi 3,7%
(0,27 juta dari 7,2 juta) selama periode yang sama. Asia Selatan masih
menyumbang sepertiga dari kematian di seluruh dunia anak-anak muda dari 5 tahun
pada tahun 2011. Selama periode yang sama, awal neonatal, akhir neonatal,
postneonatal, dan masa kanak-kanak (usia 1-4 tahun) angka kematian menurun
setiap tahun sebesar 1.7%, 2.7%, 2.5%, dan 2.4% masing-masing Di seluruh dunia,
awal angka kematian neonatal telah menjadi paling lambat menurun, meskipun
tingkat kemajuan pada usia ini adalah heterogen seluruh daerah.
Jumlah terbesar kematian berada di wilayah Afrika (4.199.000)
dan di wilayah Asia Tenggara (2,390 juta). Kedua wilayah itu berbeda pola
penyebab kematian: proporsi yang lebih rendah dari kematian neonatal terjadi di
wilayah Afrika daripada di tenggara Asian
3.
Gizi kurang, stunting, dan wasting
Prevalensi gizi kurang, pendek, dan kurus di seluruh dunia
dan untuk daerah PBB didasarkan pada analisis 388 dari survei nasional dari 139
negara, menerapkan metode perbandingan, termasuk penggunaan Standards
Pertumbuhan Anak baru WHO tahun 2005, 20% dari anak-anak balita di negara
berpenghasilan rendah dan menengah memiliki berat badan menurut umur Z skor
kurang dari -2. Prevalensi tertinggi terjadi di Asia selatan-tengah dan Afrika
timur di mana 33% dan 28%, masing-masing, yang underweight. Untuk semua
negara-negara berkembang, diperkirakan 32% (178 juta) anak-anak balita memiliki
tinggi menurut umur Z skor kurang dari -2 tahun 2005. Timur tengah dan Afrika
memiliki prevalensi tertinggi perkiraan dalam subregional PBB dengan 50% dan
42%, masing-masing, sejumlah besar anak-anak mengalami stunting, 74 juta, hidup
di Asia tengah-selatan. Dari 40 negara dengan prevalensi pengerdilan anak dari
40% atau lebih, 23 berada di Afrika, 16 di Asia, dan satu diAmerika Latin, dan
dari 52 negara dengan prevalensi kurang dari 20%, 17 berada di Amerika Latin
dan Karibia, 16 di Asia, 11 di Eropa, dan empat masing-masing di Afrika dan
Oseania.
4.
Defisiensi Seng
Group International Consultative Gizi Seng mengusulkan metode
untuk penilaian dari penduduk risiko defi siensi seng berdasarkan indikator
tidak langsung-yaitu, prevalensi stunting, salah satu klinik manifestasi dari
defi siensi seng, dan kecukupan absorpsi seng dalam penyediaan makanan di
tingkat Negara. Negara beresiko tinggi defisiensi seng adalah negara dengan
prevalensi stunting > 20% dan prevalensi estimasi asupan seng tidak memadai
> 25%, negara-negara yang berisiko rendah defi siensi seng adalah negara
dengan prevalensi stunting < 10% dan asupan seng tidak memadai <dari 15%;
negara beresiko sedang defisiensi seng adalah Negara dengan semua kombinasi
lain dari kategori prevalensi stunting dan kecukupan seng dalam penyediaan
makanan. Prevalensi Nasional seng defisiensi tertinggi di Asia selatan,
sebagian besar dari sub-Sahara Afrika, dan bagian Tengah dan Amerika Selatan
5.
Anemia
Defisiensi Besi
Menurut review WHO survei perwakilan nasional 1993-2005, 42%
dari wanita hamil dan 47% dari anak-anak prasekolah di seluruh dunia memiliki
anemia.75 Untuk analisis ini, 60% dari anemia ini diasumsikan karena defi
siensi besi dalam non-malaria daerah dan 50% di daerah malaria. 76 Penyebab
utama besi defisiensi anemia rendah konsumsi daging, ikan, atau unggas,
terutama di daerah orang miskin. 77 Pada anak-anak prevalensi puncak anemia
defisiensi besi terjadi sekitar usia 18 bulan. Wanita usia subur berada pada
risiko tinggi untuk keseimbangan besi negatif karena kehilangan darah saat
menstruasi dan besi secara substansial dibutuhkan saat kehamilan.
6.
BBLR (Berat Badan Lahir Rendah)
Bayi yang dilahirkan prematur (yaitu, yang telah
menyelesaikan 37 minggu kehamilan), tetapi berat lahir rendah (<2500 g)
cenderung memiliki perlambatan pertumbuhan intrauterin, kami akan mengacu
kelompok ini sebagai pembatasan pertumbuhan intrauterin berat lahir rendah. Berbagai
langkah yang digunakan untuk memperkirakanprevalensi kondisi ini, yang dalam
negara berkembang hadir dalam 10,8% dari kelahiran hidup setiap tahun. Proporsi
bayi lahir dengan berat 1500-1999 gram dan 2000-2499 gram diperkirakan dengan
data set dari 5 negara. Proporsi tersebut menjadi data regional dan nasional
dengan estimasi bahwa bayi lahir secara global 9.55% dengan berat 2000-2499
gram dan 1.26% dengan 1500-1999 gram.
7.
ASI Ekslusif
Rekomendasi makanan untuk anak adalah ASI ekslusif pada 6
bulan pertama kehidupan dan dilanjutkan ASI sampai 2 tahun kehidupan . di
Afrika, Asia dan Amerika Latin dan Karibia hanya 47-57% bayi di bawah 2 tahun
yang menyusui secara ekslusif. Untuk anak usia 2-5 bulan persentase jatuh
menjadi 25-30%. Untuk anak usia 6-11 bulan, 6% di Afrika dan 10% di Asia telah
berhenti menyusui, 32% di Amerika latin dan Karibia.
C.
Masalah dan Situasi kesehatan Ibu dan
Anak di Indonesia
Sebanyak 20 provinsi masih memiliki
masalah besar untuk kesehatan ibu dan anak sehingga Indonesia diperkirakan
tidak dapat memenuhi target MDG untuk penurunan angka kematian ibu (AKI) dan
angka kematian bayi (AKB) jika tidak dilakukan intervensi. Provinsi-provinsi
itu menjadi prioritas dalam pembinaan kesehatan ibu dan anak. Untuk daerah yang
menyumbangkan jumlah kematian ibu dan bayi paling besar akan dilakukan
intervensi melalui Program EMAS.
Program EMAS atau Expanding Maternal
and Neonatal Survival bertujuan untuk menurunkan 25 persen jumlah kematian ibu
dan anak melalui penguatan pada kualitas pelayanan kesehatan yang akan
dijalankan di enam provinsi yang menyumbangkan jumlah kematian dan anak
terbesar yaitu Sumatera Utara, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan
Sulawesi Selatan.
Sedangkan 20 provinsi yang memiliki
masalah kesehatan ibu dan anak tinggi adalah Sumatera Utara, Lampung, Sumatera
Selatan, Riau, Sumatera Barat, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Banten,
Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur,
Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Maluku, Papua
dan Papua Barat.
Kebijakan operasional dalam percepatan
penurunan angka kematian ibu dan bayi akan menggunakan pendekatan layanan
berkelanjutan. Layanan berkelanjutan diberikan sejak bayi masih berada dalam
kandungan hingga 1.000 hari pertama kehidupan bayi. Untuk melaksanakan program
tersebut, Kementerian Kesehatan juga melakukan perbaikan fasilitas kesehatan
seperti meningkatkan kualitas pelayanan emergensi obstetri dan bayi baru lahir
minimal di 150 rumah sakit (PONEK) dan 300 puskesmas/balkesmas (PONED) dan
fasilitas swasta. Selain itu, juga dilakukan penguatan sistem rujukan yang
efisien dan efektif antar puskesmas dan rumah sakit.
Sejak tahun 2011, Pemerintah juga
menjalankan program Jaminan Persalinan (Jampersal) yang membebaskan biaya
bersalin bagi ibu hamil yang tidak memiliki asuransi kesehatan, dalam rangka
menurunkan angka kematian ibu dan angka kematian bayi. Menurut Survei Demografi
dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007, Angka kematian ibu di Indonesia
masih sebesar 228 per 100 ribu kelahiran hidup, masih cukup jauh dari target
MDG sebesar 102 per 100 ribu kelahiran hidup. Penyebab utama kematian
pada ibu adalah perdarahan dan eklampsia (50 persen kasus) dan 45 persen
sisanya disebabkan oleh penyebab tidak langsung seperti infeksi, penyakit
jantung, hipertensi, diabetes mellitus dan epilepsi. Berikut ini adalah daftar beberapa
masalah kesehatan anak Indonesia:
1.
Gizi Buruk
Pemahaman
orang tua akan pentingnya pemenuhan gizi bagi anak masih belum maksimal
terutama pada orang tua di daerah. Minimnya pendidikan serta tingginya
kepercayaan masyarakat terhadap mitos membuat masalah gizi buruk ini menjadi
agak susah untuk ditangani. Dan tentu saja, faktor kemiskinan memegang peranan
penting pada masalah kesehatan anak Indonesia ini.
2.
ASI
Apapun
alasannya, ASI tetap yang terbaik bagi bayi dan anak. Namun sayangnya, tidak
banyak orang tua yang sadar dan mengetahui bahwa ASI bisa membantu anak untuk
memiliki sistem kekebalan tubuh yang prima sehingga banyak orang tua yang
cenderung memilih untuk memberikan susu formula bila dibanding dengan
memberikan ASI bagi anak mereka. Tenaga kesehatan, baik itu bidan, dokter, dll
memegang peranan penting untuk bisa mensosialisasikan tentang pentingnya ASI
bagi kesehatan anak Indonesa.
3.
Imunisasi
Walaupun
masih terjadi pro dan kontra di masyarakat tentang arti pentingnya imunisasi,
namun yang perlu digaris bawahi adalah imunisasi merupakan salah satu upaya
orang tua untuk mengantisipasi anak mereka supaya tidak terpapar beberapa jenis
penyakit.
4.
Kekurangan Zat Besi
Bisa dibilang hampir sebagian besar anak Indonesia
kekurangan zat besi karena sebenarnya sejak usia 4 bulan bayi harus diberi tambahan
zat besi. Namun tidak semua orang tua menyadari dan mengetahui masalah ini.
Kekurangan zat besi atau yang terkadang disebut dengan defisiensi zat besi akan
berdampak bagi pertumbuhan anak di kemudian hari. Oleh karena itu, ini
merupakan hal penting yang harus menjadi perhatian orang tua.
5.
Kekurangan Vitamin A
Mata adalah salah satu indera yang berperan penting
bagi masa depan anak. Kekurangan vitamin A bisa menyebabkan berbagai masalah
penyakit mata yang tentu saja bila tidak ditangani dengan baik bisa menyebabkan
kebutaan. Oleh karena itu, sebaiknya sejak hamil ibu sudah harus mulai
memperhatikan asupan vitamin A sesuai dengan kebutuhan.
6.
Kekurangan Yodium
Ini merupakan masalah klasik bagi kesehatan anak
Indonesia. Banyak ditemukan anak Indonesia yang kekurangan yodium sehingga
menderita penyakit pembengkakan kelenjar gondok. Seorang ibu yang pada saat
hamil menderita penyakit pembengkakan kelenjar gondok secara otomatis akan
melahirkan bayi yang kekurangan yodium.
7.
Angka Kematian Ibu
Angka Kematian Ibu (AKI) merupakan salah satu
indikator untuk melihat derajat kesehatan perempuan. Angka kematian ibu juga
merupakan salah satu target yang telah ditentukan dalam tujuan pembangunan
millenium yaitu tujuan ke 5 yaitu meningkatkan kesehatan ibu dimana target yang
akan dicapai sampai tahun 2015 adalah mengurangi sampai ¾ resiko jumlah
kematian ibu. Dari hasil survei yang dilakukan AKI telah menunjukkan penurunan
dari waktu ke waktu, namun demikian upaya untuk mewujudkan target tujuan
pembangunan millenium masih membutuhkan komitmen dan usaha keras yang terus
menerus. Pertolongan persalinan di fasilitas kesehatan terus meningkat secara
bertahap. Pada tahun 2007, pertolongan persalinan di fasilitas kesehatan
mencapai 46,1 persen dari total persalinan (SDKI, 2007). Angka tersebut
meningkat menjadi 59,4 persen pada tahun 2010 (Data Sementara Riskesdas, 2010).
Namun demikian, masih terjadi disparitas antarwilayah, antarkota-desa, antara
tingkat pendidikan dan tingkat ekonomi. Disparitas antarwilayah, tertinggi di
Bali sebesar 90,8 persen dan terendah di Sulawesi Tenggara sebesar 8,4 persen.
Persentase persalinan di fasilitas kesehatan (pemerintah dan swasta) lebih
tinggi di daerah perkotaan (70,3 persen) dibanding di daerah perdesaan (28,9
persen).
Pertolongan persalinan di fasilitas kesehatan terus
meningkat secara bertahap. Pada tahun 2007, pertolongan persalinan di fasilitas
kesehatan mencapai 46,1 persen dari total persalinan (SDKI, 2007). Angka
tersebut meningkat menjadi 59,4 persen pada tahun 2010 (Data Sementara Riskesdas,
2010). Namun demikian, masih terjadi disparitas antarwilayah, antarkota-desa,
antara tingkat pendidikan dan tingkat ekonomi. Disparitas antarwilayah,
tertinggi di Bali sebesar 90,8 persen dan terendah di Sulawesi Tenggara sebesar
8,4 persen. Persentase persalinan di fasilitas kesehatan (pemerintah dan
swasta) lebih tinggi di daerah perkotaan (70,3 persen) dibanding di daerah
perdesaan (28,9 persen). Ibu dengan tingkat
pendidikan rendah cenderung bersalin di rumah dibandingkan dengan ibu yang
berpendidikan lebih tinggi (masing-masing 81,4 dibanding 28,2 persen). Ibu
dengan kuintil tingkat pengeluaran terendah hampir lima kali lebih besar
melakukan persalinan di rumah dibandingkan dengan ibu dengan kuintil tingkat
pengeluaran tertinggi (masing-masing 84,8 dan 15,5 persen). Pelayanan antenatal (antenatal care/ANC)
penting untuk memastikan kesehatan ibu selama kehamilan dan menjamin ibu untuk
melakukan persalinan di fasiltas kesehatan. Para ibu yang tidak mendapatkan
pelayanan antenatal cenderung bersalin di rumah (86,7 persen) dibandingkan dengan ibu yang melakukan empat
kali kunjungan pelayanan antenatal atau lebih (45,2 persen). Sekitar 93 persen
ibu hamil memperoleh pelayanan antenatal dari tenaga kesehatan profesional
selama masa kehamilan (Gambar 4). Terdapat 81,5 persen ibu hamil yang melakukan
paling sedikit empat kali kunjungan pemeriksaan selama masa kehamilan, namun
yang melakukan empat kali kunjungan sesuai jadwal yang dianjurkan baru mencapai
65,5 persen. Meski cakupan ANC cukup tinggi, diperlukan perhatian khusus karena
penurunan angka kematian ibu masih jauh dari target. Salah satu aspek yang
perlu dipertimbangkan adalah kualitas layanan ANC untuk memastikan diagnosis
dini dan perawatan yang tepat, di samping pendekatan kesehatan ibu hamil yang
terpadu dan menyeluruh.
8.
Kematian Anak
Kesehatan anak Indonesia terus membaik yang
ditunjukkan dengan menurunnya angka kematian balita, bayi maupun neonatal.
Angka kematian balita menurun dari 97 pada tahun 1991 menjadi 44 per 1.000
kelahiran hidup pada tahun 2007 (SDKI). Begitu pula dengan angka kematian bayi
menurun dari 68 menjadi 34 per 1.000 kelahiran hidup pada periode yang sama.
Angka kematian neonatal juga menurun walaupun relatif lebih lambat, yaitu dari
32 menjadi 19 kematian per 1.000 kelahiran hidup.
Disparitas angka kematian balita, bayi dan neonatal
antarwilayah, antar status sosial dan ekonomi masih merupakan masalah. Angka
kematian balita tertinggi di Provinsi Sulbar sedangkan terendah di DI
Yogyakarta (22). Angka kematian anak pada ibu dengan tingkat pendidikan rendah
lebih tinggi daripada ibu yang berpendidikan tinggi. Angka kematian anak pada
keluarga kaya lebih rendah jika dibandingkan pada keluarga miskin.
Sebagian besar penyebab kematian balita, bayi dan
neonatal dapat dicegah. Salah satu pencegahan yang efektif adalah pemberian
imunisasi. Secara keseluruhan, cakupan program imunisasi lengkap terus
meningkat. Selama periode 2002-2005, cakupan beberapa program imunisasi utama -
yaitu BCG, DPT3, dan hepatitis - masing-masing telah meningkat mencapai 82
persen, 88 persen, dan 72 persen. Sementara itu, cakupan nasional imunisasi
campak pada tahun 2007 mencapai 67 persen (SDKI, 2007). Terdapat 18 provinsi
dengan cakupan imunisasi campak lebih rendah dari rata-rata nasional. Provinsi dengan
cakupan terendah adalah Sumatera Utara (36,6 persen), Aceh (40,9 persen), dan
Papua (49,9 persen). Sedangkan provinsi dengan cakupan tertinggi adalah DI
Yogyakarta dengan cakupan 94,8 persen (Gambar 14). Cakupan nasional imunisasi
campak terus meningkat menjadi sebesar 74,5 persen pada tahun 2010 (Data
Sementara Riskesdas, 2010).
D.
Upaya Pemerintah Dalam
Menurunkan Angka Kematian dan Kesakitan
Pemerintah telah membuat berbagai kebijakan untuk
mengatasi persoalan kesehatan anak, khususnya untuk menurunkan angka kematian
anak, diantaranya sebagai berikut:
1.
Meningkatkan mutu pelayanan kesehatan dan pemerintah
pelayanan kesehatan
Untuk meningkatkan mutu pelayanan serta pemerintahan pelayanan kesehatan
yang ada di masyarakat telah di lakukan berbagai upaya, salah satunya adalah
dengan meletakkan dasar pelayanan kesehatan pada sektor pelayanan dasar.
Pelayanan dasar dapat dilakukan di perpustakaaan induk, perpustakaan
pembantu,posyandu,serta unit-unit yang berkaitan di masyarakat. Bentuk
pelayanan tersebut dilakukan ndalam rangka jangkauan pemerataan pelayanan
kesehatan. Upaya pemerataan tersebut dapat dilakukan dengan penyabaran bidan
desa, perawat komuniksi, fasilitas balai kesehatan, pos kesehatan, desa, dan
puskesmas keliling.
2.
Meningkatkan status gizi masyarakat
Meningkatkan status gizi masyarakat merupakan merupakan bagian dari upaya
untuk mendorong terciptanya perbaikan status kesehatan. Dengan pemerintah gizi
yang baik diharapkan pertumbuhan dan perkembangan anak akan baik pula,
disamping dapat memperbaiki status kesehatan anak. Upaya tersebut dapat
dilakukan malalui berbagai kegiatan, diantaranya upaya perbaikan gizi keluarga
atau dikenal dengan nama UPKG. Kegiatan UPKG tersebut didorong dan diarahkan
pada peningkatan status gizi, khususnya pada masyarakat yang rawan atau
memiliki resiko tinggi terhadap kematian atau kesakitan. Kelompok resiko tinggi
terdiri anak balita, ibu hamil, ibu nifas, ibu menyusui, dan lansia yang
golongan ekonominya rendah. Melalui upaya tersebut. Peningkatan kesehatan akan
tercakup pada semua lapisan masyarakat khususnya pada kelompok resiko tinggi.
3.
Meningkatkan peran serta masyarakat
Peningkatan peran serta masyarakat dalam membantu status kesehatan
ini penting, sebab upaya pemerintah dalam rangka menurunkan kematian bayi dan anak
tidak dapat dilakukan hanya oleh pemerintah, melainkan peran serta masyarakat
dengan keterlibatan atau partisipasi secara langsung. Upaya masyarakat tersebut
sangat menentukan keberhasilan proram pemerintah sehingga mampu mangatasi
berbagai masalah kesehatan. Melalui peran serta masyarakat diharapkan mampu
pula bersifat efektif dan efisien dalam pelayanan kesehatan. Upaya atau program
kesehatan antara lain pelayanan imunisasi, penyedian air bersih, sanitasi
lingkungan, perbaikan gizi dan lain-lain. Upaya tersebut akan memudahkan
pelaksanaan program kesehatan yang tepat pada sasaran yang ada.
4.
Meningkatkan manajemen kesehatan
Upaya
meningkatan program pelayanan keshatan anak dapat berjalan dan berhasil dengan
baik bila didukung dengan perbaikan dalam pengelolaan pelayanan kesahatan.
Dalam hal ini adalah meningkatan manajemen pelayanan malalui pendayagunaan
tenaga kesehatan profesional yang mampu secara langsung mengatasi masalah
kesehatan anak. Tenaga kesehatan yang dimaksud antara lain tenaga perawat, bidan,
dokter yang berada diperpustakaan yang secara langsung berperan dalam pemberian
pelayanan kesehatan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Upaya kesehatan Ibu dan Anak adalah
upaya di bidang kesehatan yang menyangkut pelayanan dan pemeliharaan ibu
hamil, ibu bersalin, ibu menyusui, bayi dan anak balita serta anak prasekolah.
Pemberdayaan masyarakat bidang KIA merupakan upaya memfasilitasi masyarakat
untuk membangun sistem kesiagaan masyarakat dalam upaya mengatasi situasi gawat
darurat dari aspek non klinis terkait kehamilan dan persalinan.
2. Adapun
yang masalah dan situasi kesehatan ibu dan anak dalam lingkup global yaitu
kematian ibu, angka kematian bayi, gizi kurang, stanting dan wasting,
defisiensi seng, anemia defisiensi besi, BBLR, asi eksklusif yang hanya 47-57%
dibawa 2 tahun yang menyusui secara eksklusif.
3. yang
menjadi masalah kesehatan ibu dan anak di Indonesia adalah gizi buruk, ASI eksklusif,
imunisasi, kekurangan zat besi, kekurangan yodium, angka kematian ibu, kematian
anak.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.infoibu.com/
http://www.kesrepro.info/?q=ibuanak
http://www.scribd.com/doc/21737318/Kesehatan-Ibu-Dan-Anak
ANGGOTA KELOMPOK VI
NAMA :
NORHALIMAH Bt.LABBA
NIM :
212 240 059
NAMA :
RAVIATMA UMAR
NIM :
212 240 040
NAMA :
ARMAINI A.SYAMSU
NIM :
212 240 042
