Senin, 09 November 2015

Besaran Masalah KIA/KB



BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Republik Indonesia membentuk kepulauan yang meliputi tiga zona waktu antara India dan Samudera Pasifik. Merupakan negara keempat dengan populasi ternesar di dunia, dan diperkirakan populasi pada tahun 2015 adalah 237,6 juta jiwa. Indonesia merupakan negara dengan berbagai macam etnik, sekitar 300 kelompok etnik dari 17.508 pulau, dan diperkirakan sepuluh pulau dengan populasi terbanyak. Indonesia memiliki 31 provinsi (dan dua daerah istimewa) dengan berbagai tingkatan ekonomi. Pada tahun 2005, Bank Dunia menempatkan Indonesia sebagai negara dengan tingkat pendapatan menengah ke bawah.
Situasi ibu dan anak di Indonesia telah mengalami kemajuan, dan pada beberapa indikator, Indonesia telah berada di jalur untuk mencapai MDGs 2015. Sebagai contoh, Indonesia telah berusaha dengan baik untuk mencapai pendidikan dasar dan tantangan yang tersisa serakang adalah bagaimana meningkatkan kualitas pendidikan. Untuk indikator lain seperti rasio angka kematian ibu, pemerintah harus bekerja lebih keras.
Masalah Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia. Hal ini dikarenakan masih tingginya angka kematian ibu dan angka kematian bayi yang ada di Indonesia. Angka Kematian Ibu dan Angka Kematian Bayi di Indonesia merupakan yang tertinggi di ASEAN dengan jumlah kematian ibu tiap tahunnya mencapai 450 per seratus ribu kelahiran hidup yang jauh diatas angka kematian ibu di Filipina yang mencapai 170 per seratus ribu kelahiran hidup, Thailand 44 per seratus ribu kelahiran hidup (Profil Kesehatan Indonesia, 2010).
Menurut data Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007, Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia sebesar 228 per 100.000 kelahiran hidup, Angka Kematian Bayi (AKB) sebesar 34 per pada 1000 kelahiran hidup. Berdasarkan kesepakatan global (Millenium Develoment Goals/MDG’s 2000) untuk tahun 2015, diharapkan angka kematian ibu menurun dari 228 pada tahun 2007 menjadi 102 per 100.000 kelahiran hidup dan angka kematian bayi menurun dari 34 pada tahun 2007 menjadi 23 per 1000 kelahiran hidup (Depkes, 2011).
Angka Kematian Ibu dan bayi di Provinsi Sumatera Utara masih tergolong tinggi jika dibandingkan dengan provinsi lainnya di Indonesia dengan angka kematian ibu rata-rata 413 per seratus ribu kelahiran hidup yang menjadikan Provinsi Sumatera Utara menjadi provinsi yang ke 6 dengan Angka Kematian Ibu tertinggi di Indonesia bersama dengan Jawa Barat yaitu dengan Angka Kematian Ibu 2280 per seratus ribu kelahiran hidup, Jawa Tengah dengan Angka Kematian Ibu sebesar 1766per seratus ribu kelahiran hidup, Nusa Tenggara Barat 370 per seratus ribu kelahiran hidup. Untuk Angka Kematian Ibu juga masih tinggi di Provinsi Sumatera Utara dengan kematian bayi 40 per 1.000 kelahiran hidup bersama dengan Nusa Tenggara Barat dengan kematian bayi 60 per 1.000 kelahiran hidup (Profil Kesehatan Indonesia, 2010) .
Periode persalinan merupakan salah satu periode yang mengandung risiko bagi ibu hamil apabila mengalami komplikasi yang dapat meningkatkan resiko kematian ibu dan kematian bayi. Kematian ibu, kematian bayi dan juga berbagai komplikasi lainnya pada umumnya terjadi pada masa persalinan, hal ini dikarenakan masa bersalin setelah melahirkan dan 1 minggu pertama setelah melahirkan merupakan periode yang berbahaya bagi ibu dan bayi, hal ini dapat dilihat dari data Lancet (2006) bahwa sebanyak 60% ibu mengalami kematian pada periode ini (Profil Kesehatan Indonesia, 2010). Hal ini juga sesuai dengan pendapat Yuliarti (2009) bahwa hampir seperempat jumlah wanita di negara miskin akan mengalami komplikasi kesehatan karena kehamilan dan persalinan yang dapat menyebabkan meningkatnya angka kematian ibu dan bayi.
Oleh karena itu, pada tahun 2011 Kementerian Kesehatan meluncurkan kebijakan Jaminan Persalinan (Jampersal) sebagai upaya untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap persalinan yang sehat dengan cara memberikan kemudahan pembiayaan kepada seluruh ibu hamil yang belum memiliki jaminan persalinan yang diberikan kepada semua ibu hamil agar dapat mengakses pemeriksaan persalinan dan pertolongan persalinan. Hal ini sesuai dengan pendapat Hapsari (2004) bahwa persalinan bersih dan aman yang dilakukan oleh tenaga kesehatan merupakan salah satu unsur penting dalam penurunan angka kematian ibu dan anak (Yuliarti, 2009).
Akan tetapi pemanfaatan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan di masyarakat masih sangat rendah jika dibandingkan dengan indikator yang diharapkan pemerintah sebesar 90% persalinan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan. Hal ini dapat dilihat dari data Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS, 2003-2004) persentase kelahiran pada tahun 2003 yang ditolong oleh tenaga medis sekitar 56,95% dan pada tahun 2004 naik menjadi sekitar 57,51%. Sementara persentase penolong persalinan oleh tenaga non medis masih cukup tinggi yaitu 43,05% pada tahun 2003 dan 42,5% pada tahun 2004. Hal ini juga didapatkan berdasarkan data Susenas tahun 2007, persalinan menggunakan dukun masih cukup tinggi, yaitu mencapai 30,27%. Hal ini sejalan dengan hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2010 dimana berdasarkan tempat persalinan anak terakhir terdapat tenaga yang menolong proses persalinan adalah dokter (2,1%), bidan (51,9%), paramedis lain (1,4%), dukun (40,2%), serta keluarga (4,0%) (Riskesdas, 2010).
Cakupan pertolongan persalinan yang masih belum sesuai target yang diberikan oleh pemerintah menjadi salah satu masalah yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia, berdasarkan data Profil Kesehatan Indonesia tahun 2010 bahwa Provinsi Sumatera Utara memiliki cakupann pertolongan persalinan sebesar 84% yang masih jauh dibawah cakupan provinsi lain yaitu Provinsi Bali dengan 98,8% dan beberapa propinsi lainnya yang cakupannya diatas 90%. Oleh karena itu, masih diperlukannya usaha yang lebih keras lagi bagi Provinsi Sumatera Utara untuk meningkatkan cakupan pertolongan persalinan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan (Depkes, 2010).
Di daerah pedesaan misalnya masih kebanyakan ibu hamil lebih mempercayai dukun beranak untuk menolong persalinan yang biasanya dilakukan di rumah. Hal ini dikarenakan masih terdapatnya penolakan pengobatan modren yang disebabkan prinsip pengobatan modren yang tidak cocok dengan pemahaman mereka tentang pertolongan persalinan. Berdasarkan hasil penelitian Saimin (2005) bahwa terdapat 42,6 % responden melakukan pemeriksaan kehamilan kepada dukun beranak, hal ini semakin menguatkan bahwa masih banyaknya masyarakat yang masih mempercayai dukun beranak dan 62,8% pertolongan persalinan dilakukan oleh dukun beranak.
Fenomena persalinan yang dilakukan oleh dukun beranak menjadi bagian yang cukup besar pengaruhnya dalam menentukan kesehatan ibu dan bayi. Menurut Depkes (2011), berdasarkan hasil penelitian dari 97 negara bahwa ada korelasi yang signifikan antara pertolongan persalinan dengan kematian ibu. Semakin tinggi cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan di suatu wilayah akan diikuti penurunan kematian ibu di wilayah tersebut. Namun sampai saat ini di beberapa wilayah di Indonesia masih banyak ditemukan pertolongan persalinan yang masih dilakukan oleh dukun bayi yang masih menggunakan cara-cara tradisional sehingga banyak merugikan dan membahayakan keselamatan ibu dan bayi baru lahir. Di beberapa daerah, keberadaan dukun bayi sebagai orang kepercayaan dalam menolong persalinan, sosok yang dihormati dan berpengalaman, sangat dibutuhkan oleh masyarakat keberadaannya. Berbeda dengan keberadaan bidan yang rata-rata masih muda dan belum seluruhnya mendapatkan kepercayaan dari masyarakat (Depkes, 2011).
Banyak hal yang membuat seorang ibu untuk memilih pertolongan persalinan, salah satunya adalah karakteristik ibu ( umur, paritas, penghasilan, pendidikan) yang dapat mempengaruhi keputusan ibu dalam menggunkan pertolongan persalinan. Hal ini juga sesuai dengan pendapat Yuliarti (2009) bahwa masyarakat dengan karakteristik tinggal di pedesaan, pendidikan SD- SMP atau tidak sekolah,tidak bekerja, tidak memiliki jaminan kesehatan memiliki pencapaian dibawah 50% untuk penggunaan persalinan di tenaga kesehatan. Hal ini juga sejalan dengan pendapat Sutanto (2002) dalam bahwa pekerjaan, paritas dan tingkat risiko kehamilan ibu memiliki kaitan dengan pencarian dan pemilihan pertolongan persalinan (Yuliarti, 2009).
Pengetahuan dapat menjadi salah faktor ibu dalam memanfaatkan persalinan. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Yaziz (2008) bahwa mayoritas responden yang memiliki pengetahuan cukup baik yang menggunakan pelayanan persalinan ke tenaga kesehatan (bidan). Hal ini juga sesuai dengan pendapat Azwar (1996) dalam Yuliarti (2009) bahwa pemanfaatan pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dan juga sosial ekonomi orang tersebut, dimana tingkat pendidikan dapat mempengaruhi pengetahuan seseorang. Hal ini juga sejalan dengan hasil penelitian Heriyanti (2008) yang menunjukkan bahwa pengetahuan ibu memiliki pengaruh terhadap pemanfaatan persalinan.
Sedangkan menurut Anderson dalam Notoatmodjo (2003) yang menyatakan bahwa ada beberapa faktor-faktor utama lainnya seperti faktor demografi, struktur social, kepercayaan, kondisi keluarga dan kondisi masyarakat yang dapat mempengaruhi seorang individu dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan termasuk juga pelayanan pemanfaatan pertolongan persalinan. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Yaziz (2008) bahwa terdapat hubungan antara kepercayaan terhadap tenaga kesehatan dengan pemanfaatan tenaga kesehatan (bidan). Hasil penelitian Yuliarti (2009) juga menunjukkan bahwa kepercayaan yang tinggi terhadap pelayanan yang diberikan dukun dapat mempengaruhi keputusan ibu dalam melakukan pemanfaatan dukun beranak dalam penolong persalinan.
B.       Rumusan masalah
Berdasarkan dari latar belakang yang dipaparkan diatas maka adapun rumusan masala sebagai berikut :
1.      Apa yang dimaksud dengan kesehatan ibu dan anak?
2.      Bagaimana masalah dan situasi kesehatan ibu dan anak secara global?
3.      Bagaimana masalah dan situasi kesehatan ibu dan anak di indonesia?
C.      Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah diatas maka adapun tujuan penulisan sebagai berikut :
1.      Mengetahui yang dimaksud dengan kesehatan ibu dan anak?
2.      Mengetahui masalah dan situasi kesehatan ibu dan anak secara global?
3.      Mengetahui masalah dan situasi kesehatan ibu dan anak di indonesia?









BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pengartian
Kesehatan adalah satu masalah yang harus diperhatikan dengan serius. Dan memang selama ini pemerintah tidak pernah main-main dengan segala kebijakan yang berhubungan dengan kesehatan anak. Beberapa kasus kesehatan anak yang akhirnyanya menjadi KLB atau Kasus Luar Biasa hingga akhirnya pemerintah mengeluarkan keputusan untuk wajib mendapatkan imunisasi tertentu di wilayah tersebut, itu merupakan satu sebagian kecil dari banyak kasus masalah kesehatan anak Indonesia yang langsung ditangani oleh pemerintah.
Upaya kesehatan Ibu dan Anak adalah upaya di bidang kesehatan yang menyangkut pelayanan dan pemeliharaan ibu hamil, ibu bersalin, ibu menyusui, bayi dan anak balita serta anak prasekolah. Pemberdayaan masyarakat bidang KIA merupakan upaya memfasilitasi masyarakat untuk membangun sistem kesiagaan masyarakat dalam upaya mengatasi situasi gawat darurat dari aspek non klinis terkait kehamilan dan persalinan. Sistem kesiagaan merupakan sistem tolong-menolong, yang dibentuk dari, oleh, dan untuk masyarakat, dalam hal penggunaan alat transportasi/komunikasi (telepon genggam,telepon rumah), pendanaan, pendonor darah, pencatatan-pemantauan, dan informasi KB. Dalam pengertian ini tercakup pula pendidikan kesehatan kepada masyarakat, pemuka masyarakat, serta menambah keterampilan para dukun bayi serta pembinaan kesehatan akan dilakukan di taman kanak-kanak.

B.       Masalah dan Situasi Kesehatan Ibu dan Anak Global
Millenium Development Goals (MDGs) merupakan komitmen nasional dan global dalam upaya lebih menyejahterakan masyarakat melalui pengurangan kemiskinan dan kelaparan, pendidikan, pemberdayaan perempuan, kesehatan, dan kelestarian lingkungan. 8 (delapan) tujuan (goals) menjadi komitmen MDGs mencakup: (1) Menanggulangi Kemiskinan dan Kelaparan; (2) Mencapai Pendidikan Dasar untuk Semua; (3) Mendorong Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan; (4) Menurunkan Angka Kematian Anak; (5) Meningkatkan Kesehatan Ibu; (6) Memerangi HIV/AIDS, Malaria dan Penyakit Menular lainnya; (7) Memastikan Kelestarian Lingkungan Hidup; dan (8) Membangun Kemitraan Global untuk Pembangunan.
Gizi ibu dan anak telah meluas dan merusak kondisi berpenghasilan rendah dan menengah seluruh negara. Sebuah kerangka yang dikembangkan oleh UNICEF mengakui dasar dan mendasari penyebab gizi, termasuk, lingkungan ekonomi, dan faktor-faktor kontekstual sosial politik, dengan kemiskinan memiliki Peran sentral (Ezzati, dkk, 2005). Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) negara yaitu untuk mengurangi separuh antara tahun 1990 dan 2015 proporsi orang yang menderita kelaparan. Salah satu dari 7 indikator untuk memantau kemajuan untuk target ini adalah proporsi anak yang kurus-yaitu, berat badan rendah dibandingkan dengan yang diharapkan untuk anak seusia dan jenis kelamin yang sama. Indikator antropometrik ini dapat menunjukkan wasting (yaitu, rendah berat badan, menunjukkan berat badan akut yang hilang), dan pengerdilan/stunting (yaitu, rendah tinggi badan untuk-usia yang normal, disebut juga kelainan kronis. Kedua kondisi tersebut memerlukan penanganan yang berbeda (Caufleld, dkk, 2004).
Ibu bertubuh pendek dan indeks massa tubuh rendah di masa kehamilan dan menyusui mengalami kekurangan gizi, termasuk energi kronis dan defisiensi mikronutrien, lazim di banyak daerah, terutama Asia Selatan Tengah, di mana di beberapa negara lebih dari 10% dari wanita usia 15-49 tahun mengalami stunting lebih pendek dari 145 cm.
Masalah serius kurang gizi pada ibu yang ditandai dengan indeks massa tubuh kurang dari 18,5 kg di sebagian besar negara di sub-Sahara Afrika, selatan-tengah dan tenggara Asia, dan di Yaman, di mana lebih dari 20% wanita memiliki indeks massa tubuh kurang dari 18,5 kg /m². Dengan prevalensi rendah indeks massa tubuh sekitar 40% pada perempuan, situasi dapat dianggap penting di India, Bangladesh, dan Eritrea. Ibu bertubuh pendek dan rendah indeks massa tubuh memiliki pengaruh buruk pada hasil kehamilan nanti. Status gizi seorang wanita sebelum dan selama kehamilan adalah penting untuk hasil kehamilan yang sehat. Perawakan pendek ibu merupakan faktor risiko untuk kehamilan caesar, terutama terkait dengan disproporsi cephalopelvic (Kramer MS, 1987). Kurang Gizi pada ibu memiliki efek pada volume atau komposisi ASI kecuali malnutrisi parah. Konsentrasi dari beberapa mikronutrien (vitamin A, iodium, thiamin, riboflavin, pyridoxine, dan cobalamin) dalam ASI tergantung dari asupan dan status ibu sehingga risiko bayi kecil meningkat akibat defisiensi gizi pada ibu (Allen LH, 1994).

1.      Kematian Ibu
Kematian ibu merupakan kematian ibu selama kehamilan, melahirkan, atau dalam 42 hari setelah melahirkan. Diperkirakan ada 342.900 (interval 302.100-394.300) kematian ibu di seluruh dunia pada tahun 2008, turun dari 526.300 (446.400-629.600) pada tahun 1980. Rasio kematian ibu global yang menurun dari 422 (358-505) pada 1980-320 (272-388) pada tahun 1990, dan 251 (221-289) per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2008. Tingkat tahunan penurunan rasio kematian ibu dunia sejak tahun 1990 adalah 1,3% (1,0 -1,5). Selama 1990-2008, tingkat penurunan tahunan rasio kematian ibu bervariasi antara negara, dari 8,8% (8,7 -14.1) di Maladewa peningkatan dari 5,5% (5,2 -5 · 6) di Zimbabwe. Lebih dari 50% dari semua ibu kematian berada di hanya enam negara pada tahun 2008 (India, Nigeria, Pakistan, Afghanistan, Ethiopia, dan Demokrat Republik Kongo). Dengan tidak adanya HIV, akan ada 281.500 (243.900-327.900) kematian ibu di seluruh dunia pada tahun 2008.
Kecenderungan jumlah kematian global dengan terjadinya HIV epidemi di awal 1990-an, terdapat perlambatan dalam penurunan kematian ibu global, dengan tingkat penurunan dari 1,8% antara tahun 1980 dan 1990 dan 1,4% dari tahun 1990 sampai 2008. MMR menunjukkan penurunan yang konsisten yang sama; kami memperkirakan MMR global untuk menjadi 251 (221-289) per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2008, turun dari 320 (272-388) pada tahun 1990 dan 422 (358-505) pada tahun 1980, yang merupakan tingkat tahunan penurunan dari 1,8%. Sebagai perbandingan, target MDG dari 75% pengurangan dari tahun 1990 MMRs pada tahun 2015 akan memerlukan tingkat penurunan tahunan sebesar 5,5%. Dengan tidak adanya prevalensi HIV, kami memperkirakan bahwa MMR global pada tahun 2008 akan menjadi 206 (179-240).
2.      Angka Kematian Bayi
Tingkat kematian di seluruh dunia untuk anak balita menurun terus menerus dari dasar MDG pada tahun 1990 untuk hadir pada tingkat tahunan sebesar 2,2% (Interval ketidakpastian 1,8 -2,6). Pada tahun 2011, ada 7.2 (6.6 -7,8) juta kematian pada anak balita. Fraksi kematian di sub-Sahara Afrika telah meningkat dari 33% (3,9 juta dari 11,6 juta) pada tahun 1990 menjadi 49% (3,5 juta dari 7,2 juta) pada tahun 2011. Kontribusi kematian di utara Afrika dan Timur Tengah telah menurun dari 5,7% (0,66 juta 11,6 juta) menjadi 3,7% (0,27 juta dari 7,2 juta) selama periode yang sama. Asia Selatan masih menyumbang sepertiga dari kematian di seluruh dunia anak-anak muda dari 5 tahun pada tahun 2011. Selama periode yang sama, awal neonatal, akhir neonatal, postneonatal, dan masa kanak-kanak (usia 1-4 tahun) angka kematian menurun setiap tahun sebesar 1.7%, 2.7%, 2.5%, dan 2.4% masing-masing Di seluruh dunia, awal angka kematian neonatal telah menjadi paling lambat menurun, meskipun tingkat kemajuan pada usia ini adalah heterogen seluruh daerah.
Jumlah terbesar kematian berada di wilayah Afrika (4.199.000) dan di wilayah Asia Tenggara (2,390 juta). Kedua wilayah itu berbeda pola penyebab kematian: proporsi yang lebih rendah dari kematian neonatal terjadi di wilayah Afrika daripada di tenggara Asian
3.      Gizi kurang, stunting, dan wasting
Prevalensi gizi kurang, pendek, dan kurus di seluruh dunia dan untuk daerah PBB didasarkan pada analisis 388 dari survei nasional dari 139 negara, menerapkan metode perbandingan, termasuk penggunaan Standards Pertumbuhan Anak baru WHO tahun 2005, 20% dari anak-anak balita di negara berpenghasilan rendah dan menengah memiliki berat badan menurut umur Z skor kurang dari -2. Prevalensi tertinggi terjadi di Asia selatan-tengah dan Afrika timur di mana 33% dan 28%, masing-masing, yang underweight. Untuk semua negara-negara berkembang, diperkirakan 32% (178 juta) anak-anak balita memiliki tinggi menurut umur Z skor kurang dari -2 tahun 2005. Timur tengah dan Afrika memiliki prevalensi tertinggi perkiraan dalam subregional PBB dengan 50% dan 42%, masing-masing, sejumlah besar anak-anak mengalami stunting, 74 juta, hidup di Asia tengah-selatan. Dari 40 negara dengan prevalensi pengerdilan anak dari 40% atau lebih, 23 berada di Afrika, 16 di Asia, dan satu diAmerika Latin, dan dari 52 negara dengan prevalensi kurang dari 20%, 17 berada di Amerika Latin dan Karibia, 16 di Asia, 11 di Eropa, dan empat masing-masing di Afrika dan Oseania.
4.      Defisiensi Seng
Group International Consultative Gizi Seng mengusulkan metode untuk penilaian dari penduduk risiko defi siensi seng berdasarkan indikator tidak langsung-yaitu, prevalensi stunting, salah satu klinik manifestasi dari defi siensi seng, dan kecukupan absorpsi seng dalam penyediaan makanan di tingkat Negara. Negara beresiko tinggi defisiensi seng adalah negara dengan prevalensi stunting > 20% dan prevalensi estimasi asupan seng tidak memadai > 25%, negara-negara yang berisiko rendah defi siensi seng adalah negara dengan prevalensi stunting < 10% dan asupan seng tidak memadai <dari 15%; negara beresiko sedang defisiensi seng adalah Negara dengan semua kombinasi lain dari kategori prevalensi stunting dan kecukupan seng dalam penyediaan makanan. Prevalensi Nasional seng defisiensi tertinggi di Asia selatan, sebagian besar dari sub-Sahara Afrika, dan bagian Tengah dan Amerika Selatan
5.       Anemia Defisiensi Besi
Menurut review WHO survei perwakilan nasional 1993-2005, 42% dari wanita hamil dan 47% dari anak-anak prasekolah di seluruh dunia memiliki anemia.75 Untuk analisis ini, 60% dari anemia ini diasumsikan karena defi siensi besi dalam non-malaria daerah dan 50% di daerah malaria. 76 Penyebab utama besi defisiensi anemia rendah konsumsi daging, ikan, atau unggas, terutama di daerah orang miskin. 77 Pada anak-anak prevalensi puncak anemia defisiensi besi terjadi sekitar usia 18 bulan. Wanita usia subur berada pada risiko tinggi untuk keseimbangan besi negatif karena kehilangan darah saat menstruasi dan besi secara substansial dibutuhkan saat kehamilan.

6.      BBLR (Berat Badan Lahir Rendah)
Bayi yang dilahirkan prematur (yaitu, yang telah menyelesaikan 37 minggu kehamilan), tetapi berat lahir rendah (<2500 g) cenderung memiliki perlambatan pertumbuhan intrauterin, kami akan mengacu kelompok ini sebagai pembatasan pertumbuhan intrauterin berat lahir rendah. Berbagai langkah yang digunakan untuk memperkirakanprevalensi kondisi ini, yang dalam negara berkembang hadir dalam 10,8% dari kelahiran hidup setiap tahun. Proporsi bayi lahir dengan berat 1500-1999 gram dan 2000-2499 gram diperkirakan dengan data set dari 5 negara. Proporsi tersebut menjadi data regional dan nasional dengan estimasi bahwa bayi lahir secara global 9.55% dengan berat 2000-2499 gram dan 1.26% dengan 1500-1999 gram.
7.      ASI Ekslusif
Rekomendasi makanan untuk anak adalah ASI ekslusif pada 6 bulan pertama kehidupan dan dilanjutkan ASI sampai 2 tahun kehidupan . di Afrika, Asia dan Amerika Latin dan Karibia hanya 47-57% bayi di bawah 2 tahun yang menyusui secara ekslusif. Untuk anak usia 2-5 bulan persentase jatuh menjadi 25-30%. Untuk anak usia 6-11 bulan, 6% di Afrika dan 10% di Asia telah berhenti menyusui, 32% di Amerika latin dan Karibia.
C.      Masalah dan Situasi kesehatan Ibu dan Anak di Indonesia
Sebanyak 20 provinsi masih memiliki masalah besar untuk kesehatan ibu dan anak sehingga Indonesia diperkirakan tidak dapat memenuhi target MDG untuk penurunan angka kematian ibu (AKI) dan angka kematian bayi (AKB) jika tidak dilakukan intervensi. Provinsi-provinsi itu menjadi prioritas dalam pembinaan kesehatan ibu dan anak. Untuk daerah yang menyumbangkan jumlah kematian ibu dan bayi paling besar akan dilakukan intervensi melalui Program EMAS.
Program EMAS atau Expanding Maternal and Neonatal Survival bertujuan untuk menurunkan 25 persen jumlah kematian ibu dan anak melalui penguatan pada kualitas pelayanan kesehatan yang akan dijalankan di enam provinsi yang menyumbangkan jumlah kematian dan anak terbesar yaitu Sumatera Utara, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan.
Sedangkan 20 provinsi yang memiliki masalah kesehatan ibu dan anak tinggi adalah Sumatera Utara, Lampung, Sumatera Selatan, Riau, Sumatera Barat, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Banten, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Maluku, Papua dan Papua Barat.
Kebijakan operasional dalam percepatan penurunan angka kematian ibu dan bayi akan menggunakan pendekatan layanan berkelanjutan. Layanan berkelanjutan diberikan sejak bayi masih berada dalam kandungan hingga 1.000 hari pertama kehidupan bayi. Untuk melaksanakan program tersebut, Kementerian Kesehatan juga melakukan perbaikan fasilitas kesehatan seperti meningkatkan kualitas pelayanan emergensi obstetri dan bayi baru lahir minimal di 150 rumah sakit (PONEK) dan 300 puskesmas/balkesmas (PONED) dan fasilitas swasta. Selain itu, juga dilakukan penguatan sistem rujukan yang efisien dan efektif antar puskesmas dan rumah sakit.
Sejak tahun 2011, Pemerintah juga menjalankan program Jaminan Persalinan (Jampersal) yang membebaskan biaya bersalin bagi ibu hamil yang tidak memiliki asuransi kesehatan, dalam rangka menurunkan angka kematian ibu dan angka kematian bayi. Menurut Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007, Angka kematian ibu di Indonesia masih sebesar 228 per 100 ribu kelahiran hidup, masih cukup jauh dari target MDG sebesar 102 per 100 ribu kelahiran hidup.  Penyebab utama kematian pada ibu adalah perdarahan dan eklampsia (50 persen kasus) dan 45 persen sisanya disebabkan oleh penyebab tidak langsung seperti infeksi, penyakit jantung, hipertensi, diabetes mellitus dan epilepsi. Berikut ini adalah daftar beberapa masalah kesehatan anak Indonesia:
1.      Gizi Buruk
Pemahaman orang tua akan pentingnya pemenuhan gizi bagi anak masih belum maksimal terutama pada orang tua di daerah. Minimnya pendidikan serta tingginya kepercayaan masyarakat terhadap mitos membuat masalah gizi buruk ini menjadi agak susah untuk ditangani. Dan tentu saja, faktor kemiskinan memegang peranan penting pada masalah kesehatan anak Indonesia ini.
2.      ASI
Apapun alasannya, ASI tetap yang terbaik bagi bayi dan anak. Namun sayangnya, tidak banyak orang tua yang sadar dan mengetahui bahwa ASI bisa membantu anak untuk memiliki sistem kekebalan tubuh yang prima sehingga banyak orang tua yang cenderung memilih untuk memberikan susu formula bila dibanding dengan memberikan ASI bagi anak mereka. Tenaga kesehatan, baik itu bidan, dokter, dll memegang peranan penting untuk bisa mensosialisasikan tentang pentingnya ASI bagi kesehatan anak Indonesa.
3.      Imunisasi
Walaupun masih terjadi pro dan kontra di masyarakat tentang arti pentingnya imunisasi, namun yang perlu digaris bawahi adalah imunisasi merupakan salah satu upaya orang tua untuk mengantisipasi anak mereka supaya tidak terpapar beberapa jenis penyakit.
4.      Kekurangan Zat Besi
Bisa dibilang hampir sebagian besar anak Indonesia kekurangan zat besi karena sebenarnya sejak usia 4 bulan bayi harus diberi tambahan zat besi. Namun tidak semua orang tua menyadari dan mengetahui masalah ini. Kekurangan zat besi atau yang terkadang disebut dengan defisiensi zat besi akan berdampak bagi pertumbuhan anak di kemudian hari. Oleh karena itu, ini merupakan hal penting yang harus menjadi perhatian orang tua.
5.      Kekurangan Vitamin A
Mata adalah salah satu indera yang berperan penting bagi masa depan anak. Kekurangan vitamin A bisa menyebabkan berbagai masalah penyakit mata yang tentu saja bila tidak ditangani dengan baik bisa menyebabkan kebutaan. Oleh karena itu, sebaiknya sejak hamil ibu sudah harus mulai memperhatikan asupan vitamin A sesuai dengan kebutuhan.
6.      Kekurangan Yodium
Ini merupakan masalah klasik bagi kesehatan anak Indonesia. Banyak ditemukan anak Indonesia yang kekurangan yodium sehingga menderita penyakit pembengkakan kelenjar gondok. Seorang ibu yang pada saat hamil menderita penyakit pembengkakan kelenjar gondok secara otomatis akan melahirkan bayi yang kekurangan yodium. 
7.      Angka Kematian Ibu
Angka Kematian Ibu (AKI) merupakan salah satu indikator untuk melihat derajat kesehatan perempuan. Angka kematian ibu juga merupakan salah satu target yang telah ditentukan dalam tujuan pembangunan millenium yaitu tujuan ke 5 yaitu meningkatkan kesehatan ibu dimana target yang akan dicapai sampai tahun 2015 adalah mengurangi sampai ¾ resiko jumlah kematian ibu. Dari hasil survei yang dilakukan AKI telah menunjukkan penurunan dari waktu ke waktu, namun demikian upaya untuk mewujudkan target tujuan pembangunan millenium masih membutuhkan komitmen dan usaha keras yang terus menerus. Pertolongan persalinan di fasilitas kesehatan terus meningkat secara bertahap. Pada tahun 2007, pertolongan persalinan di fasilitas kesehatan mencapai 46,1 persen dari total persalinan (SDKI, 2007). Angka tersebut meningkat menjadi 59,4 persen pada tahun 2010 (Data Sementara Riskesdas, 2010). Namun demikian, masih terjadi disparitas antarwilayah, antarkota-desa, antara tingkat pendidikan dan tingkat ekonomi. Disparitas antarwilayah, tertinggi di Bali sebesar 90,8 persen dan terendah di Sulawesi Tenggara sebesar 8,4 persen. Persentase persalinan di fasilitas kesehatan (pemerintah dan swasta) lebih tinggi di daerah perkotaan (70,3 persen) dibanding di daerah perdesaan (28,9 persen).
Pertolongan persalinan di fasilitas kesehatan terus meningkat secara bertahap. Pada tahun 2007, pertolongan persalinan di fasilitas kesehatan mencapai 46,1 persen dari total persalinan (SDKI, 2007). Angka tersebut meningkat menjadi 59,4 persen pada tahun 2010 (Data Sementara Riskesdas, 2010). Namun demikian, masih terjadi disparitas antarwilayah, antarkota-desa, antara tingkat pendidikan dan tingkat ekonomi. Disparitas antarwilayah, tertinggi di Bali sebesar 90,8 persen dan terendah di Sulawesi Tenggara sebesar 8,4 persen. Persentase persalinan di fasilitas kesehatan (pemerintah dan swasta) lebih tinggi di daerah perkotaan (70,3 persen) dibanding di daerah perdesaan (28,9 persen). Ibu dengan tingkat pendidikan rendah cenderung bersalin di rumah dibandingkan dengan ibu yang berpendidikan lebih tinggi (masing-masing 81,4 dibanding 28,2 persen). Ibu dengan kuintil tingkat pengeluaran terendah hampir lima kali lebih besar melakukan persalinan di rumah dibandingkan dengan ibu dengan kuintil tingkat pengeluaran tertinggi (masing-masing 84,8 dan 15,5 persen).  Pelayanan antenatal (antenatal care/ANC) penting untuk memastikan kesehatan ibu selama kehamilan dan menjamin ibu untuk melakukan persalinan di fasiltas kesehatan. Para ibu yang tidak mendapatkan pelayanan antenatal cenderung bersalin di rumah (86,7 persen)  dibandingkan dengan ibu yang melakukan empat kali kunjungan pelayanan antenatal atau lebih (45,2 persen). Sekitar 93 persen ibu hamil memperoleh pelayanan antenatal dari tenaga kesehatan profesional selama masa kehamilan (Gambar 4). Terdapat 81,5 persen ibu hamil yang melakukan paling sedikit empat kali kunjungan pemeriksaan selama masa kehamilan, namun yang melakukan empat kali kunjungan sesuai jadwal yang dianjurkan baru mencapai 65,5 persen. Meski cakupan ANC cukup tinggi, diperlukan perhatian khusus karena penurunan angka kematian ibu masih jauh dari target. Salah satu aspek yang perlu dipertimbangkan adalah kualitas layanan ANC untuk memastikan diagnosis dini dan perawatan yang tepat, di samping pendekatan kesehatan ibu hamil yang terpadu dan menyeluruh.
8.      Kematian Anak
Kesehatan anak Indonesia terus membaik yang ditunjukkan dengan menurunnya angka kematian balita, bayi maupun neonatal. Angka kematian balita menurun dari 97 pada tahun 1991 menjadi 44 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 2007 (SDKI). Begitu pula dengan angka kematian bayi menurun dari 68 menjadi 34 per 1.000 kelahiran hidup pada periode yang sama. Angka kematian neonatal juga menurun walaupun relatif lebih lambat, yaitu dari 32 menjadi 19 kematian per 1.000 kelahiran hidup.
Disparitas angka kematian balita, bayi dan neonatal antarwilayah, antar status sosial dan ekonomi masih merupakan masalah. Angka kematian balita tertinggi di Provinsi Sulbar sedangkan terendah di DI Yogyakarta (22). Angka kematian anak pada ibu dengan tingkat pendidikan rendah lebih tinggi daripada ibu yang berpendidikan tinggi. Angka kematian anak pada keluarga kaya lebih rendah jika dibandingkan pada keluarga miskin.
Sebagian besar penyebab kematian balita, bayi dan neonatal dapat dicegah. Salah satu pencegahan yang efektif adalah pemberian imunisasi. Secara keseluruhan, cakupan program imunisasi lengkap terus meningkat. Selama periode 2002-2005, cakupan beberapa program imunisasi utama - yaitu BCG, DPT3, dan hepatitis - masing-masing telah meningkat mencapai 82 persen, 88 persen, dan 72 persen. Sementara itu, cakupan nasional imunisasi campak pada tahun 2007 mencapai 67 persen (SDKI, 2007). Terdapat 18 provinsi dengan cakupan imunisasi campak lebih rendah dari rata-rata nasional. Provinsi dengan cakupan terendah adalah Sumatera Utara (36,6 persen), Aceh (40,9 persen), dan Papua (49,9 persen). Sedangkan provinsi dengan cakupan tertinggi adalah DI Yogyakarta dengan cakupan 94,8 persen (Gambar 14). Cakupan nasional imunisasi campak terus meningkat menjadi sebesar 74,5 persen pada tahun 2010 (Data Sementara Riskesdas, 2010).

D.      Upaya Pemerintah Dalam Menurunkan Angka Kematian dan Kesakitan
Pemerintah telah membuat berbagai kebijakan untuk mengatasi persoalan kesehatan anak, khususnya untuk menurunkan angka kematian anak, diantaranya sebagai berikut:
1.      Meningkatkan mutu pelayanan kesehatan dan pemerintah pelayanan kesehatan
Untuk meningkatkan mutu pelayanan serta pemerintahan pelayanan kesehatan yang ada di masyarakat telah di lakukan berbagai upaya, salah satunya adalah dengan meletakkan dasar pelayanan kesehatan pada sektor pelayanan dasar. Pelayanan dasar dapat dilakukan di perpustakaaan  induk, perpustakaan pembantu,posyandu,serta unit-unit yang berkaitan di masyarakat. Bentuk pelayanan tersebut dilakukan ndalam rangka jangkauan pemerataan pelayanan kesehatan. Upaya pemerataan tersebut dapat dilakukan dengan penyabaran bidan desa, perawat komuniksi, fasilitas balai kesehatan, pos kesehatan, desa, dan puskesmas keliling.
2.      Meningkatkan status gizi masyarakat
Meningkatkan status gizi masyarakat merupakan merupakan bagian dari upaya untuk mendorong terciptanya perbaikan status kesehatan. Dengan pemerintah gizi yang baik diharapkan pertumbuhan dan perkembangan anak akan baik pula, disamping dapat memperbaiki status kesehatan anak. Upaya tersebut dapat dilakukan malalui berbagai kegiatan, diantaranya upaya perbaikan gizi keluarga atau dikenal dengan nama UPKG. Kegiatan UPKG tersebut didorong dan diarahkan pada peningkatan status gizi, khususnya pada masyarakat yang rawan atau memiliki resiko tinggi terhadap kematian atau kesakitan. Kelompok resiko tinggi terdiri anak balita, ibu hamil, ibu nifas, ibu menyusui, dan lansia yang golongan ekonominya rendah. Melalui upaya tersebut. Peningkatan kesehatan akan tercakup pada semua lapisan masyarakat khususnya pada kelompok resiko tinggi.
3.      Meningkatkan peran serta masyarakat
Peningkatan peran serta masyarakat dalam membantu status kesehatan  ini penting, sebab upaya pemerintah dalam rangka menurunkan kematian bayi dan anak tidak dapat dilakukan hanya oleh pemerintah, melainkan peran serta masyarakat dengan keterlibatan atau partisipasi secara langsung. Upaya masyarakat tersebut sangat menentukan keberhasilan proram pemerintah sehingga mampu  mangatasi berbagai masalah kesehatan. Melalui peran serta masyarakat diharapkan mampu pula bersifat efektif dan efisien dalam pelayanan kesehatan. Upaya atau program kesehatan antara lain pelayanan imunisasi, penyedian air bersih, sanitasi lingkungan, perbaikan gizi dan lain-lain. Upaya tersebut akan memudahkan pelaksanaan program kesehatan yang tepat pada sasaran yang ada.
4.      Meningkatkan manajemen kesehatan
Upaya meningkatan program pelayanan keshatan anak dapat berjalan dan berhasil dengan baik bila didukung dengan perbaikan dalam pengelolaan pelayanan kesahatan. Dalam hal ini adalah meningkatan manajemen pelayanan malalui pendayagunaan tenaga kesehatan profesional yang mampu secara langsung mengatasi masalah kesehatan anak. Tenaga kesehatan yang dimaksud antara lain tenaga perawat, bidan, dokter yang berada diperpustakaan yang secara langsung berperan dalam pemberian pelayanan kesehatan.


















BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
1.      Upaya kesehatan Ibu dan Anak adalah upaya di bidang kesehatan yang menyangkut pelayanan dan pemeliharaan ibu hamil, ibu bersalin, ibu menyusui, bayi dan anak balita serta anak prasekolah. Pemberdayaan masyarakat bidang KIA merupakan upaya memfasilitasi masyarakat untuk membangun sistem kesiagaan masyarakat dalam upaya mengatasi situasi gawat darurat dari aspek non klinis terkait kehamilan dan persalinan.
2.      Adapun yang masalah dan situasi kesehatan ibu dan anak dalam lingkup global yaitu kematian ibu, angka kematian bayi, gizi kurang, stanting dan wasting, defisiensi seng, anemia defisiensi besi, BBLR, asi eksklusif yang hanya 47-57% dibawa 2 tahun yang menyusui secara eksklusif.
3.      yang menjadi masalah kesehatan ibu dan anak di Indonesia adalah gizi buruk, ASI eksklusif, imunisasi, kekurangan zat besi, kekurangan yodium, angka kematian ibu, kematian anak.







DAFTAR PUSTAKA

http://www.infoibu.com/
http://www.kesrepro.info/?q=ibuanak
http://www.scribd.com/doc/21737318/Kesehatan-Ibu-Dan-Anak


















ANGGOTA KELOMPOK VI
 


NAMA           : NORHALIMAH Bt.LABBA
NIM                : 212 240 059



 



NAMA           : RAVIATMA UMAR
NIM                : 212 240 040


 



NAMA           : ARMAINI A.SYAMSU
NIM                : 212 240 042

Besaran Masalah Kia/KB

Tugas Kia/KB



Tugas : Kesehatan Ibu dan Anak / Keluarga Berencana



Hubungan Persepsi Orang Tua Tentang Penyakit Hepatitis B Dengan Kelengkapan Imunisasi Hepatitis B Pada Anak



 






Oleh :
Norhalimah Bt.Labba
212 240 059
Kesling VI





FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PAREPARE
TAHUN 2015/2016

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, karena berkat rahmat dan karunia-Nya saya dapat menyelesaikan tugas makalah ini saya juga bersyukur atas berkat rezeki dan kesehatan yang diberikan kepada saya sehingga saya dapat mengumpulkan bahan-bahan materi makalah ini. Kami  telah berusaha semampu kami untuk mengumpulkan berbagai macam bahan tentang  makalah yang berjudul “Hubungan Persepsi Orang Tua Tentang Penyakit Hepatitis B Dengan Kelengkapan Imunisasi Hepatitis B Pada Anak” Kami sadar bahwa makalah yang saya buat ini masih jauh dari kesempurnaan, karena itu saya mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk menyempurnakan makalah ini menjadi lebih baik lagi. Oleh karena itu kami mohon bantuan dari para pembaca.
            Demikianlah makalah ini saya buat, apabila ada kesalahan dalam penulisan, saya mohon maaf yang sebesarnya dan sebelumnya saya mengucapkan terima kasih.


Parepare, 22 Maret  2015



              Penyusun





DAFTAR ISI
SAMPUL ............................................................................................................. 1
KATA PENGANTAR .................................................................................... .... 2
DAFTAR ISI .................................................................................................. .... 3
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. .... 4
A.    Latar Belakang .................................................................................... .... 4
B.     Rumusan Masalah ................................................................................ .... 6  
C.     Tujuan .................................................................................................. .... 6
BAB II PEMBAHASAN ............................................................................... .... 7
A.    Pengertian ............................................................................................ .... 7
B.     Etiologi hepatitis .................................................................................. .... 8
C.     Patofisiologi hepatitis .......................................................................... .... 8
D.    Manifestasi klinis hepatitis .................................................................. .... 9
E.     Imunisasi hepatitis B ........................................................................... .... 10
F.      Hubungan persepsi orang tua tentang penyakit hepatitis b  
dengan kelengkapan imunisasi hepatitis b pada anak .......................... .... 12
BAB III PENUTUP ........................................................................................ .... 15
A.    Kesimpulan .......................................................................................... .... 15
B.     Saran .................................................................................................... .... 15
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... .... 16
BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Infeksi hepatitis B merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius.sebagian infeksi akut,pada penderita dewasa dengan kompetisi imuntas yang baik akan sembuh secara sempurna (90%),hanya sebagian kecil yang berakibat kronik (5-10%).ratioini terbalik jika infeksi terjadi pada masa yang lebih
awal (bayi dan anak-anak).pada bayi dan anak-anak infeksi akan berkembang menjadi kronik dan sebagian dari penderita hepatitis kronik akan berkembang menjadi sirosis hati,bahkan bisa menjadi karsinoma hepatoselluler primer .hal ini disebabkan sistem imunologi bayi yang belum sempurna dan bersifat toleran terhadap virus (beasley,1982,cit purwanti,1997).
Terhadap suatu fenomena dimana makin tinggi prevalensi infeksi hepatitis B di suatu tempat ,infeksi pada bayi dan anak-anak makin banyak dijumpai.prevalensi hepatitis B kronik H (HbsAg positif) di indonesia tahun 1986 sekitar 3-20%.pada anak-anak kurang dari 16 tahun ditemuka prevalensi sebesar 9,17% dengan daya tular rata-rata 24,2%.persentasi daya tular tinggi (66,7%) terdapat pada anak berumur 3-5 tahun(Budiarso,1987)
Cara penyebaran parenteral biasanya lewat suntikan degan alat yang tidak steril atau lewat transfusi,dan penyebaran heptitis juga dapat melalui saliva,semen,urine dan ASI.terdapat suatu pola penyebaran antara orang dengan hubungan intim,seperti ibu dan anak,sehingga penyebaran langsung dari orang ke orang dapat terjadi (Adnan,1992,cit purwanti,1997)
Pada dasarnya ada dua cara pngendalian terhadp penyakit hepatitis yaitu dengan mencegah atau mengobati.untuk penyakit hepatitis B terutama bentuk kronik,belum ada pengobatan yang memuaskan.oleh karena itu perhatian difokuskan pada usaha pencegahan sedini mungkin dengan imunisasi(gunawan,1991) Data epidemiologi menunjukn,indonesia termasuk edemisititas tinggi sampai sedang dan penularannya secara vertikal dari ibu ke anak,maka program imunisasi Departemen Kesehatan RI memprioritaskan imunisasi hepatitis B pada bayi baru lahir (sulaiman,1994)
Berdasarkan Profil kesehatan Kabupaten Klaten (Dep.Kes.Kab.Klaten 2001) hepatitis di kabupaten klaten terjadi pada usia 5-14 tahun sebanyak 1 orang,15-44 tahun sbanyak 12 orang dan ebih dari 45 tahun 12 orang,jika diprosentase sebesar 1,26%,serta kasus yang sering terjadi pada usia 15-44 tahun yang merupakan usia reproduktif.pemberian imunisasi hepatitis B sebagai pencegahan terhadap penyakit hepatitis masih banyak diabaikan. Hal ini tercatat dalam droup out rute yang cukup besar di Kecamatan Kalikotes yaitu sebesar 31 % dengan jumlah balita sebanyak 608 balita. Hasil wawncara dengan ibu-ibu pengunjung posyandu menunjukkan bahwa, mereka kurang mengetahui tentang penyakit hepatitis B dan untuk apa imunisasi hepatitis B diberikan kepada balita. Adanya imunisasi hepatitis B mandiri yang dimulai pada awal 2002 lebih dimungkinkan lagi bertambah besar angka droup out rute yang terjadi.

B.  Rumusan Masalah
Berdasarkan dari latar belakang diatas maka adapun rumusan masalah makalah ini sebagai berikut :
1.      Bagaimana yang dimaksud dengan hepatitis?
2.      Bagaimana etiologi hepatitis?
3.      Bagaimana patofisiologi hepatitis?
4.      Bagaimana manifestasi klinis hepatitis?
5.      Bagaimana itu imunisasi hepatitis B?
6.      Bagaimana hubungan persepsi orang tua tentang penyakit hepatitis b dengan kelengkapan imunisasi hepatitis b pada anak?
C.  Tujuan
Berdasarkan dari rumusan masalah diatas maka adapun tujuan penulisan makalah sebagai berikut :
1.      Mengetahui yang dimaksud dengan hepatitis!
2.      Mengetahui etiologi hepatitis!
3.      Mengetahui patofisiologi hepatitis!
4.      Mengetahui manifestasi klinis hepatitis!
5.      Mengetahui bagaimana itu imunisasi hepatitis B!
6.      Mengetahui hubungan persepsi orang tua tentang penyakit hepatitis b dengan kelengkapan imunisasi hepatitis b pada anak!



BAB II
PEMBAHASAN
A.  Pengertian
Berikut merupakan beberapa pengertian dari hepatitis.
1.      Hepatitis adalah istilah umum yang berarti radang hati. “Hepa” berarti kaitan dengan hati, sementara “itis” berarti radang (Seperti di atritis, dermatitis, dan pankreatitis) (James, 2005: 4).
2.      Hepatitis merupakan infeksi pada hati, baik disebabkan oleh virus atau tidak. Hepatitis yang disebabkan  oleh virus ada tiga tipe, yaitu tipe A, tipe B, dan tipe C. hepatitis yang tidak disebabkan oleh virus biasanya disebabkan oleh adanya zat-zat kimia atau obat, seperti karbon tetraklorida, jamur racun, dan vinyl klorida (Asep suryana abdurahmat, 2010: 153).
3.      Hepatitis adalah peradangan atau inflamasi pada hepar yang umumnya terjadi akibat infeksi virus, tetapi dapat pula disebabkan oleh zat-zat toksik. Hepatitis berkaitan dengan sejumlah hepatitis virus dan paling sering adalah hepatitis virus A, hepatitis virus B, serta hepatitis virus C (Sue hanclif,  2000: 105).
4.      Hepatitis adalah peradangan hati yang akut karena suatu infeksi atau keracunan (Clifford anderson, 2007:,243).
5.      Dari beberapa pengetian hepatitis di atas pada dasarnya memiliki tujuan yang sama, yaitu hepatitis merupakan peradangan pada hati yang disebabkan oleh virus maupun tidak disebabkan oleh virus.

B.  Etiologi Hepatitis
Menurut Price dan Wilson (2005: 485) Secara umum hepatitis disebabkan oleh virus. Beberapa virus yang telah ditemukan sebagai penyebabnya, berikut ini.
1.    Virus hepatitis A (HAV)
2.     Virus hepatitis B (HBV)
3.    Virus hepatitis C (HCV)
4.     Virus hepatitis D (HDV)
5.    Virus hepatitis E (HEV)
6.    Hepatitis F (HFV)
7.    Hepatitis G (HGV)
Namun dari beberapa virus penyebab hepatitis, penyebab yang paling dikenal adalah HAV (hepatitis A) dan HBV (hepatitis B). Kedua istilah tersebut lebih disukai daripada istilah lama yaitu hepatitis “infeksiosa” dan hepatitis “serum”, sebab kedua penyakit ini dapat ditularkan secara parental dan nonparental (Price dan Wilson, 2005: 243). Hepatitis pula dapat disebabkan oleh racun, yaitu suatu keadaan sebagai bentuk respons terhadap reaksi obat, infeksi stafilokokus, penyakit sistematik dan juga bersifat idiopatik (Sue hincliff, 2000: 205).
C.  Patofisiologi Hepatitis
Yaitu perubahan morfologi yang terjadi pada hati, seringkali mirip untuk berbagai virus yang berlainan. Pada kasus yang klasik, hati tampaknya berukuran basar dan berwarna normal, namun kadang-kadang agak edema, membesar dan pada palpasi “terasa nyeri di tepian”. Secara histologi. Terjadi kekacauan susunan hepatoselular, cedera dan nekrosis sel hati dalam berbagai derajat, dan peradangan periportal. Perubahan ini bersifat reversibel sempurna, bila fase akut penyakit mereda. Namun pada beberapa kasus nekrosis, nekrosis submasif atau masif dapat menyebabkan gagal hati fulminan dan kematian (Price dan Daniel, 2005: 485).
D.  Manifestasi Klinis Hepatitis
Menurut Arif mansjoer (2001: 513) Manifestasi klinis merupakan suatu gejala klinis tentang suatu penyakit yang diderita oleh pasien. Berikut adalah gejala klinis dari penyakit hapatitis.
1.      Stadium praikterik berlangsung selama 4-7 hari. Pasien mengeluh sakit kepala, lemah, anoreksia, mual, muntah, demam, nyeri pada otot, dan nyeri di perut kanan atas. Urin menjadi lebih cokelat.
2.      Stadium ikterik yang berlangsung selama 3-6 minggu. Ikterus mula-mula terlihat pada sclera,kemudian pada kulit seluruh tubuh.keluhan-keluhan berkurang, tetapi pasien masih lemah, anoreksia, dan muntah. Tinja mungkin berwarna kelabu atau kuning muda. Hati membesar dan nyeri tekan.
3.      Stadium pascaikterik (rekonvalesensi). Ikterus mereda, warna urin dan tinja menjadi normal lagi. Penyembuhan pada anak-anak lebih cepat dari orang dewasa, yaitu pada akhir bulan kedua, karena penyebab yang biasanya berbeda.
Menurut Sriana azis (2002: 232) Gejala-gejala klinis lain yang dapat dilihat, sebagai berikut.
1.        Gejala yang ditimbulkan oleh virus A, B, C, D, E, dan virus lain-lain meliputi letih, lesu, lemas dan mata menjadi kuning, urin seperti teh, rasa tidak enak di perut dan punggung, hati bengkak, bangun tidur tetap letih, lesu, dan lain-lain. Bila sakitnya berkepanjangan dapat berubah menjadi kronis dan berkelanjutan menjadi kanker.
2.        Virus B dan C cenderung menjadi kronis (menahun atau gejala menjadi tetap ada sampai 6 bulan), bila dibiarkan hati menjadi keriput (sirosis) kemudian menjadi kanker. Komplikasi sirosis meliputi muntah darah, kanker hati dan koma.
3.        Virus C tidak mempunyai gejala awal langsung akut.
4.        Gagal hepatitis meliputi sindrom kholaemi : tremor, refleks berlebihan, kejang otot, gerakan khoreiform, kejang-kejang, kemudian meninggal.
E.  Imunisasi Hepatitis B\
Imunisasi hepatitis B ini juga merupakan imunisasi yang diwajibkan, lebih dari 100 negara memasukkan vaksinasi ini dalam program nasionalnya. Jika menyerang anak, penyakit yang disebabkan virus ini sulit disembuhkan. Bila sejak lahir telah terinfeksi virud hepatitis B (VHB) dapat menyebabkan kelainan-kelainan yang dibawanya terus hingga dewasa. Sangat mungkin terjadi sirosis atau pengerutan hati.
Banyak jalan masuk virus hepatitis B ke tubuh si kecil. Yang potemsial melalui jalan lahir. Cara lain melalui kontak dengan darah penderita, semisal transfusi darah. Bisa juga melali alat-alat medis yang sebelumnya telah terkontaminasi darah dari penderita hepatitis B, seperti jarum suntik yang tidak steril atau peralatan yang ada di klinik gigi. Bahkan juga bisa lewat sikat gigi atau sisir rambut yang digunakan antar anggota keluarga.
Tak ada gejala khas yang tampak secara kasat mata. Bahkan oleh dokter sekalipun. Fungsi hati kadang tak terganggu meski sudah mengalami sirosis. Anak juga terlihat sehat, nafsu makan baik, berat badan juga normal. Penyakit baru diketahui setelah dilakukan pemeriksaan darah.
Upaya pencegahan adalah langkah terbaik. Jika ada salah satu anggota keluarga dicurigai kena Virus Hepatitis B, biasanya dilakukan screening terhadap anak-anaknya untuk mengetahui apakah membawa virus atau tidak. Selain itu, imunisasi merupakan langkah efektif untuk mencegah masuknya virus hepatitis B.
1.      Jumlah Pemberian:
Sebanyak 3 kali, dengan interval 1 bulan antara suntikan pertama dan kedua, kemudian 5 bulan antara suntikan kedua dan ketiga.
2.      Usia Pemberian
Sekurang-kurangnya 12 jam setelah lahir. Dengan syarat, kondisi bayi stabil, tak ada gangguan pada paru-paru dan jantung. Dilanjutkan pada usia 1 bulan, dan usia 3-6 bulan. Khusus bayi yang lahir dari ibu pengidap VHB, selain imunisasi tsb dilakukan tambahan dengan imunoglobulin antihepatitis B dalam waktu sebelum usia 24 jam.
3.      Lokasi Penyuntikan:
Pada anak di lengan dengan cara intramuskuler. Sedangkan pada bayi di paha lewat anterolateral (antero= otot-otot bagian depan, lateral= otot bagian luar). Penyuntikan di bokong tidak dianjurkan karena bisa mengurangi efektivitas vaksin.
4.      Efek Samping:
Umumnya tak terjadi. Jikapun ada (jarang) berupa keluhan nyeri pada bekas suntikan, yang disusul demam ringan dan pembengkakan. Namun rekasi ini akan menghilang dalam waktu dua hari.
5.      Tanda Keberhasilan:
Tak ada tanda klinis yang dapat dijadikan patokan. Namun dapat dilakukan pengukuran keberhasilan melalui pemeriksaan darah dengan mengecek kadar hepatitis B-nya setelah anak berusia setahun. Bila kadarnya di atas 1000, berarti daya tahanya 8 tahun; diatas 500, tahan 5 tahun; diatas 200 tahan 3 tahun. Tetapi kalau angkanya cuma 100, maka dalam setahun akan hilang. Sementara bila angkanya 0 berarti si bayi harus disuntik ulang 3 kali lagi.
6.      Tingkat Kekebalan:
Cukup tinggi, antara 94-96%. Umumnya setelah 3 kali suntikan, lbih dari 95% bayi mengalami respons imun yang cukup.
F.   Hubungan Persepsi Orang Tua Tentang Penyakit Hepatitis B Dengan Kelengkapan Imunisasi Hepatitis B Pada Anak
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar respnden (46,6%) mempunyai persepsi yang cukup tentang penyakit hepatitis B, ini dikarenakan sebagian besar responden sudah pernah mendapat informasi tentang penyakit hepatitis baik dari media massa maupun petugas kesehatan . Hal ini sesuai dengan penelitian Sasmito(1995) bahwa informasi sebagian besar diperoleh dari petugas kesehatan, nomor dua dari Koran, nomor tiga dari kader kesehatan dan yang keempat dari teman. Menurut Sarwono, kebudayaan termasuk kebiasaan hidup dan faktor umur seseorang akan mempengaruhi persepsinya terhadap suatu obyek dan menurut Rahmat (1992,cit Lucia,2001) perbedaan persepsi seseorang terhadap suatu rangsang disebabkan oleh perbedaan cultural dan pengalaman belajar individu yang bersangkutan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian dimana sebagian besar responden ( 96,67%) berusia muda yaitu 20-34 tahun dan semua berpendidikan formal dimana 63,33% berpendidikan SMP dan SMA . Hasil analisis korelasi pearson product moment menunjukkan ada hubungan bermakna antara persepsi orang tua tentang penyakit hepatitis B dengan kelengkapan imunisasi hepatitis B, dengan nilai p= 0,000 dan r = 0,644,yang berarti semakin baik persepsi orang tua tentang penyakit hepatitis B maka semakin lengkap imunisasi hepatitis pada balita. Hal ini sesuai dengan penelitian Susena (1991) yang menyatakan ada hubungan yang bermakna antara jumlah anak dan pendidikan formal dan tingkat pengetahuan untuk melakukan imunisasi anaknya. Pengetahuan merupakan hasil “tahu”. Dan ini dapat terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek (Notoatmojo, 1997). Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk tindakan seseorang. Hal ini sesuai dengan penelitian Rahmawati (1999)yang menyatakan bahwa pengetahuan
mempengaruhi kelengkapan imunisasi.






















BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil adalahSebagian besar (46,67) persepsi orang tua tentang penyakit hepatitis B di wilayah kerja puskesmas kalikotes adalah cukup baik. Kelengkapan imunisasi hepatitis B di wilayah kerja puskesmas Kalikotes pada kategori cukup. Ada hubungan yang bermakna antara persepsi orang tuaa tentang penyakit hepatitis B dengan kelangkapan imunisasi hepatits B pada balita.
B.     Saran
Puskesmas perlu mningktkan kader kesehatan dalam memberikan pendidikan kesehatan melalui penyuluhan sehingga akan didapatkan cakupan imunisasi yang lebih besar.










DAFTAR PUSTAKA

Lusia Astuti,2001. Persepsi dan sikap Ibu Hamil terhadap Pelayanan Bidan di desa Argosari Sedayu Bantul Yogyakarta, KTI, UGM.
Notoatmaja,S. 1997. Prinsip-prinsip Dasar Kesehatan Masyarakat,Rineka Cipta Jakarta.
Purwanti, 1997. Persepsi Orang Tua tentang Penyakit Hepatitis terhadap Pelaksanaan Imunisasi Hepatitis B secara Mandiri, Tesis, UGM

Rahmawati, 1999. Perbedaan Pengetahuan dan Sikap yang Mempengaruhi Perilaku Ibu-ibu untuk Kelengkapan Imunisasi pada Anaknya di Puskesmas Pleret, KTI, UGM.

Sasmito, 1995. Gambaran Diskriptif Informasi Kesehatan pada Masyarakat Yogyakarta, KTI, UGM.

Susena, 1991. Pengaruh Jumlah Anak, Pendidikan Formal dan Tingkat Pengetahuan Orang Tua untuk Melakukan Imunisasi pada Anaknya,KTI,UGM.